Bisnis Kreatif Ala Anak Muda

Pedagang pinggiran semakin menjamur di Banda Aceh. Kebanyakan dari mereka adalah mahasiswa dan pelajar yang berusaha berpikir kreatif di tengah himpitan ekonomi dan sulitnya lapangan kerja.


Jam baru menunjukkan pukul 20:05 menit. Kendaraan terlihat lalu lalang di sejumlah jalan protokol di Banda Aceh. Hal ini membuat suasana kota Banda Aceh di malam hari terasa begitu hidup dan meriah. Ditambah lagi dengan semakin menjamurnya gerobak dagangan masyarakat yang menjajakan makanan di malam hari.

Melewati sepanjang jalan T. Nyak Arief sampai ke Simpang Lima, kita bisa melihat dengan jelas gerobak-gerobak makanan berderetan di sepanjag trotoar. Berbagai jenis makanan mejadi andalan setiap pedagang untuk menarik pelanggan mereka. Mulai dari nasi goreng, martabak, roti bakar sampai burger. Juga dilengkapi dengan berbagai minuman aneka rasa dan suasana yang dibuat senyaman mungkin.

Tidak mengherankan, kalau tempat-tempat ini menjadi pilihan anak muda dan remaja yang berasal dari kalangan mahasiswa dan pelajar, sebagai tempat mangkal. Pedagangnya pun kebanyakan berasal dari mahasiswa dan pelajar yang berusaha hidup mandiri dengan berbisnis kecil-kecilan.

Seperti halnya yang dilakukan Mahmundir. Laki-laki yang berasal dari Idi Rayeuk ini sudah memulai usahanya sebagai penjual roti sejak 2003 lalu. Waktu itu dia bekerja dengan orang lain. Setahun kemudian, ia mencoba keberuntungannya dengan membuka usaha sendiri. Modal awal sepuluh juta rupiah untuk pembuatan gerobak, dapur masak, roti dan peralatan lainnya.

“Saya hanya ingin mencoba usaha sendiri tanpa bergantung sama orang lain,” ungkap Mundir. Hal itu tak begitu sulit baginya, karena ia sudah punya pelanggan tetap pada saat masih bekerja sama orang. Tinggal mengembangkan saja.

Untuk keperluan harian, seperti membeli roti, beberapa jenis sayur, mentega, coklat minuman ringan dan lainnya, ia biasanya mengeluarkan modal sebesar Rp600 ribu sampai Rp800 ribu. Dari modal tersebut, ia mendapatkan pemasukan Rp800 ribu sampai Rp1 juta, dengan keuntungan bersih Rp200 ribu per malamnya.

Namun pada malam-malam tertentu, seperti malam Minggu dan awal bulan, penghasilan yang didapat berkisar Rp1 juta sampai Rp1,5 juta. ”Karena pada seperti itu, pengunjungnya lebih ramai,” ujar laki-laki hitam manis ini.

“Ya, lumayanlah bisa cukup untuk makan dan modal untuk malam selanjutnya,” sambungnya kemudian, sambil terus menyiapkan roti pesanan pelanggannya.

Tempat dagangannya sangat sederhana. Sebuah gerobak warna ungu, beratap plafon plastik biru berdiri tegak di bawah pahon asam, di ujung jalan Studi Fond, Kuta Alam, Banda Aceh. Tepatnya di depan gedung Bulog. Dua lampu pijar merah lima watt di kiri kanan gerobak dan sebuah lampu philips putih di tengahnya. Gerobak itu lumayan besar, di dalamnya tersusun roti tawar yang siap dimasak sesuai pesanan. Di sebelah kiri tempat roti berjejer, terdapat sebauh dapur kecil terbuat dari plat besi ukuran lima mili meter.

Suasana di sekitar gerobak remang-remang. Bangku dan meja plastik kecil hijau dan biru diletakkan berderetan memanjang di sebelah kiri dan kanan gerobak. Alunan musik hits pun terus menggema, menambah kericuhan malam.

Satu hal yang membedakan roti bakar Mundir dengan lainnya, yaitu kelezatan menu yang ditawarkan dengan berbagai pilihan. Mulai dari roti bakar coklat, keju, telur sampai burger ala barat. Ditambah lagi dengan suasana dan pelayanan yang menyenangkan serta harganya mudah dijangkau semua kalangan. Hal ini yang membuat roti bakarnya tidak pernah sepi dari pengunjung. Harga roti setiap jenis pesanannya sangat bervariasi. Mulai dari Rp5000, sampai Rp12000,.

Menu spesial yang bisa didapat di sini adalah omletnya dengan cita rasa khas. Walaupun kebanyakan penjual roti bakar lainnya juga menyediakan menu yang sama, namun tidak selezat dan senikmat omlet buatan Mundir.

Hal terpenting baginya adalah bisa memuaskan setiap pengunjung. ”Sekali mereka singgah atau menikmati setiap menu di sini, mereka akan kembali lagi ke sini dan tidak pindah ke tempat lain,” ujarnya bangga.

Seperti halnya yang diungkapkan Rina, seorang pelanggan tetap roti bakar Mundir. Ia mengaku, hampir setiap minggu malam menyempatkan diri untuk berkumpul besama teman-temannya sambil menikmati menu spesial yang ada di roti bakar milik Mundir.

“Enak aja kayaknya di sini. Nyaman dan yang pasti menunya enak, apalagi rasa omletnya, beda dengan tempat lain. Ditambah lagi musiknya bisa diputar apa yang kita mau,” ungkap gadis belia yang masih duduk di kelas dua SMU ini.

Untuk mengembangkan usaha roti bakarnya, Mundir tidak bekerja sendiri. Dia dibantu seorang adik laki-lakinya, Zainal dan tiga pekerja lainnya, mereka semua mahasiswa. Kepada setiap pekerja, ia memberi upah sebesar Rp35000, permalam.

Mundir sendiri, juga tercatat sebagai mahasiswa di salah satu Perguruan Tinggi Swasta di Banda Aceh. Namun, saat ini dia terpaksa menganggur karena kekurangan dana untuk membayar setiap iuran kuliahnya. Ditambah lagi, dia harus membiayai kuliah Zainal, adiknya.

“Saya sempat kuliah sampai semester empat, setelah itu berhenti karena tidak cukup dana. Untuk saat ini, biarlah saya yang bekerja, adik saya yang kuliah,” ujar laki-laki yang mahir bahasa Arab ini.

Mundir berasal dari keluarga kurang mampu. Keberadaannya di Banda Aceh pertama kalinya untuk menempuh pendidikan. Waktu itu, pada tahun 1996, dia mendapat kesempatan melanjutkan sekolahnya di Abulyatama, Aceh Besar setelah mendapatkan beasiswa prestasi dari pemerintah. Pada tahun 1999, setelah menamatkan pendidikan Sekolah Menengah Atas, ia mulai bekarja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya di Banda Aceh, termasuk biaya untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.

”Beasiswa dari pemerintah hanya sampai tamat SMA saja, setelah itu saya harus menanggung sendiri semua biaya untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Karena saya tidak tahu lagi prosedur pengurusannya. Kalau tidak kerja mau minta sama siapa, orang tua juga orang tidak punya,” kisah Mundir.

Berkat kegigihan dan kerja kerasnya, rasa hormat dan bangga mulai tertanam dalam diri adiknya Zainal. Betapa tidak, sejak orang tua laki-laki mereka meninggal puluhan tahun lalu, Mundir sudah mulai memikul beban keluarga, karena dia anak pertama dari tiga bersaudara. Ketiganya laki-laki. Zainal anak bungsu dalam keluarga. Ia merasa beruntung punya dua abang yang selalu menjaga dan memperhatikannya.

”Saya sangat bangga punya abang yang begitu peduli dan bertanggungjawab sama keluarga. Mereka bukan hanya abang, tapi juga ayah bagi saya,” ungkap Zainal dengan mata berkaca.

Setiap malamnya gerobak roti bakar Mundir tidak pernah sepi dari pengunjung. Ada yang memesan ditempat, ada pula minta diantar ke rumah. Uniknya, ia sekali pun tidak pernah meminta atau menerima bantuan modal usaha dari pemerintah. Alasannya sepele, karena pengurusan yang rumit.

“Saya malas meminta-minta, apalagi sama pemerintah. Banyak kali urusan, modalnya dikasih sedikit, tapi pengurusannya berbelit-belit. Walaupun saya belum pernah coba, tapi banyak kawan-kawan yang sudah mencoba, susah,” kata laki-laki yang memiliki cita-cita ingin jadi tentara ini.

Saat ini, Mundir memiliki keinginan untuk membuka sebuah tempat jualan yang layak. ”Saya ingin sekali membuka kafe yang menyediakan roti bakar khas ala Mundir,” ujarnya setengah bercanda.

Hal seperti ini tidak hanya digeluti Mundir. Pasca tsunami dan perjanjian damai ditandatangani, pedagang yang mengembangkan usaha semacam ini semakin menjamur di Banda Aceh. Kebanyakan dari mereka adalah pelajar dan mahasiswa yang tidak ingin bergantung dari orang tua. Ada yang jualan pulsa di bawah tenda-tenda kecil seadanya, membuka kios dan lainnya. Di sanalah mereka mencoba keberuntungan, berjuang melawan malam hanya sekedar untuk membuktikan ”kami kaum muda tak mau berpangku tangan.”[]

0 comments:

Post a Comment

Berikan komentar anda yang membangun....

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls