APBA Milik Siapa ?

Pemerintah Aceh mengusulkan Rp5,798 triliun untuk membangun Aceh setahun ke depan. Angka tersebut dinilai belum menjamin keperpihakan pemerintah kepada rakyat. Pembahasannya pun molor.


Terhitung sejak tahun 2008 sampai 2009, Aceh mendapatkan anggara yang lumayan wah, dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Namun sayangnya, hampir setiap tahun pula, Aceh tidak mampu menghabiskan anggaran yang ada dan harus dikembalikan ke pusat.
Begitu juga dengan tahun ini. Pemerintah Aceh beberapa waku lalu mengajukan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (RAPBA) 2010 senilai Rp5,798 triliun kepada Parlemen Aceh. Jumlah ini terjadi penurunan senilai Rp936 miliar atau 13,87 persen, dibandingkan anggaran tahun lalu yang ditetapkan Rp6,7 triliun.

Hal ini disebabkan penerimaan dari sumber dana bagi hasil minyak dan gas (migas) cenderung menurun dan sisa anggaran tahun lalu minim.

“RAPBA yang kami usulkan ini dengan memperhatikan prioritas kebutuhan penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan guna meningkatkan pelayanan serta kesejahteraan masyarakat," ujar Irwandi Yusuf pada sidang anggaran di gedung DPRA.

Pendapatan yang direncanakan tersebut, bersumber dari dana Otonomi Khusus (Otsus) Rp3,728 triliun, dana perimbangan Rp1,274 triliun, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Rp795,48 miliar, dan pembiayaan bersumber dari sisa anggaran yang belum terpakai pada tahun 2009 diprediksikan Rp1,335 triliun. Sedangkan belanja daerah sebesar Rp6,548 triliun sehingga terjadi defisit anggaran yang mencapai Rp750 miliar.

“Itu belum termasuk penerimaan yang bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK),” kata Irwandi.

Dari jumlah anggaran yang diusulkan tersebut, dianggarkan untuk belanja tidak langsung senilai Rp1,430 triliun. Terdiri dari belanja pegawai Rp866 miliar, belanja hibah Rp500 juta, bantuan sosial Rp13,7 miliar. Belanja bagi hasil kepada kabupaten/kota sebesar Rp400 miliar, bantuan keuangan kepada kabupaten/kota senilai Rp100 miliar dan belanja tidak terduga Rp50 miliar.

Irwandi menjelaskan, belanja tidak terduga tersebut dianggarkan untuk menghadapi kemungkinan kebutuhan biaya tanggap darurat dan mendesak dalam upaya pencegahan serta gangguan terhadap stabilitas penyelenggaraan pemerintahan dan ketertiban masyarakat. Selain itu, juga dianggarkan untuk penanggulangan bencana alam dan sosial.

Program kegiatan pembangunan Aceh yang dituangkan dalam RAPBA 2010 juga ikut menampung kegiatan prioritas pembangunan kabupaten/kota bersama-sama dengan program prioritas Pemerintah Aceh.

Hal tersebut sesuai dengan amanat UU No.11 Tahun 2006 dan Qanun No. 2 Tahun 2008 tentang Tata Cara Akokasi Tambahan Dana Bagi Hasil Migas dan Otonomi Khusus, bahwa 60 persen dari total pendapatan tersebut dialokasikan untuk membiayai program pembangunan yang disepakati bersama antara Pemerintah Aceh dengan kabupaten/kota.

Pemerintah Aceh menjadikan tujuh prioritas pembangunan. Meliputi pemberdayaan ekonomi rakyat, perluasan kesempatan kerja dan penanggulangan kemiskinan. Pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur dan sumber daya energi pendukung investasi. Peningkatan mutu pendidikan dan pemerataan kesempatan belajar, peningkatan mutu dan pemerataan pelayanan kesehatan. Pembangunan syariat Islam, sosial dan budaya. Penciptaan pemerintah yang baik dan bersih. Penyehatan birokrasi pemerintahan, serta penanganan dan pengurangan resiko bencana.

Namun, dari jumlah keseluruhan anggaran yang diusulkan, bidang infrastruktur masih menduduki alokasi terbesar, mencapai Rp1,676 triliun. Diikuti pendidikan Rp945 miliar dan kesehatan Rp 776 miliar.

Memang, jika dibanding alokasi 2009 senilai Rp2,9 triliun, anggaran infrastruktur menurun Rp1,266 triliun, tapi tetap saja masih tinggi dari alokasi untuk pendidikan. Anggaran untuk pendidikan pun mengalami penurunan Rp387 miliar, dari sebelumnya senilai Rp1,334 triliun.

Besarnya alokasi anggaran di bidang infrastruktur, dimaksudkan untuk mendukung sektor investasi dan pemberdayaan ekonomi masyarakat.

”Pengalaman kurang baik dalam dua tahun terakhir, kita jadikan pelajaran untuk berbuat lebih baik dan maksimal lagi pada tahun ini untuk percepatan pembangunan Aceh secara menyeluruh,” kata Irwandi.


Tidak Pro Rakyat

Pembagian keuangan antarsektor di jajaran Satuan Kerja Pemerintahan Aceh (SKPA) dalam RAPBA 2010, dinilai belum mencerminkan upaya Pemerintah Aceh pro kepada kebutuhan rakyat. Hal ini terindikasi dari adanya ketidakseimbangan alokasi anggaran antara kebutuhan sektor riil yang jauh lebih kecil dibandingkan sektor lain, seperti infrastruktur.

Pejabat sementara Koordinator Gerakan Antikorupsi (GeRAK) Aceh, Askhalani menyebutkan, dengan jumlah alokasi anggaran sektor riil seperti sektor perkebunan, pertanian dan sektor sosial, misalnya, yang minim, mengindikasikan bahwa fokus pembangunan Pemerintah Aceh pada tahun anggaran 2010 ini cenderung mengabaikan visi dan misi mensejahterakan rakyat.

Menurutnya, dari data pembagian keuangan dana otsus dan migas tercatat bahwa dari tiga sektor tersebut, pembagian dan persentase anggaran belum menunjukkan adanya upaya pembagian yang sama dan seimbang sebagaimana keinginan hendak dicapai Pemerintah Aceh.

Berdasarkan visi dan misi Pemerintah Aceh 2010, ada beberapa sektor yang hendak dijadikan pilar keberhasilan pembangunan. Di antaranya sektor pertanian dan perikanan, pembagunan daerah tertinggal (gampong), investasi dan pembangunan kawasan ekonomi terpadu seperti yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA).

Dana pembangunan untuk ketiga sektor tersebut, baik pertanian, sosial, dan perkebunan yang memang berdampak langsung untuk kebutuhan sektor riil. Hal ini dinilai masih kalah besar dibandingkan kebutuhan untuk sektor infrastruktur. Misalkan, untuk Dinas Pertanian mengelola dana sebesar Rp91,365,219,557, sedangkan perkebunan Rp117,728,548,016. Sementara dana untuk sektor sosial hanya sebesar Rp16,663,074,475.

Artinya jika dikalkulasikan secara keseluruhan, maka total yang diplot untuk tiga dinas tersebut jauh lebih sedikit dari yang diberikan untuk Dinas PU dan Pengairan, karena subfokus untuk pembangunan infrastruktur setiap tahun dilaksanakan.

“Ini jelas menunjukan bahwa perencanaan pembangunan Aceh tidak sejalan dengan apa yang hendak dicapai dari visi misi pemerintahan yang terpilih,” tegas Askhalani.

Besaran alokasi dana tersebut dapat dicermati di mana wilayah pantai timur Aceh (Pidie, Pidie Jaya, Bireuen, Lhokseumawe, Aceh Utara, Langsa, Aceh Timur, dan Aceh Tamiang), Dinas PU mengelola anggaran mencapai Rp275,908,756,281, sedangkan dinas Pengairan adalah Rp131,963,842,969 Pantai Barat Aceh (Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Abdya, Aceh Selatan, Aceh Singkil, Simeulue, Subulussalam), Dinas PU mengelola dana mencapi Rp338,436,499,089, sedangkan Dinas Pengairan Rp37,400,670,317.

Selanjutnya wilayah Tengah (Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo Lues, Aceh Tenggara) Dinas PU mengelola dana mencapai Rp 214,908,821,740, sedangkan dinas Pengairan Rp29,910,750,000. Sementara Basajan (Banda Aceh, Sabang, Aceh Besar) Dinas PU mengelola dana mencapai Rp76,866,269,408, sedangkan Dinas Pengairan Rp15,714,426,470.

Askhalani mengatakan, untuk sektor kesehatan, berdasarkan hasil analisa atas dana otsus dan migas yang dikelola oleh Dinas Kesehatan, tercatat mencapai Rp172,639,224,447. Jika dibandingkan dengan kalkulasi untuk perencanaan pembangunan Aceh dan kepentingan bagi masyarakat, dana tersebut sangat sedikit dan ini sangat kontradiksi dengan usaha yang digagas Pemerintah Aceh dalam mengedepankan kepentingan masyarakat atas pelayanan kesehatan.

Kondisi serupa juga terjadi di sektor pendidikan. Dari seluruh total anggaran Rp 457,032,213,498 yang ditelaah di bawah Dinas Pendidikan Aceh hasil analisis atas dana otsus dan migas, tercatat bahwa proses pengembangan atas anggaran masih belum berubah dari tahun 2009.

“Ini membuktikan bahwa angka persentase total masih memfokuskan pada wilayah pantai timur. Padahal, berdasarkan general report anggaran untuk wilayah ini, setiap tahun memperoleh dana subsidi pembangunan infrastruktur,” katanya.

Askhalani menyebutkan, perencanaan pembangunan APBA 2010, hasil telaah dari usulan PPAS 2010 atas dana Otsus dan Migas tercatat bahwa, implikasi perencanaan pembangunan untuk masyarakat Aceh belum menunjukkan arah seimbang antara perencanaan terpadu yang ingin dicapai dari visi dan misi Pemerintah Aceh.

“Ini sangat kontradiksi dengan apa yang telah dirumuskan secara bersama antara kepentingan politik dari Pemerintah Aceh dengan apa yang hendak dicapai secara simultan demi keberlangsungan jangka panjang pembangunan bagi masyarakat Aceh,” tegasnya.

GeRAK Aceh juga mendesak bupati dan walikota untuk bersama-sama melakukan pemeriksaan ulang atas usulan yang diberikan ke masing-masing wilayah oleh provinsi dari dana otsus dan migas. Jika ini tidak dilakukan, maka diyakini akan terjadi program yang sama dengan alokasi anggaran yang berbeda antara pihak provinsi dengan kabupaten kota.

“Sehingga hal ini berpotensi terjadi tindak pidana korupsi,” ungkap Askhalani.

Hal yang sama juga diungkapkan Koordinator Nasional Greenomics Indonesia,Vanda Mutia Dewi yang menilai RAPBA 2010 mengabaikan visi Aceh Green. Anggaran yang dialokasikan untuk mendukung program tersebut sangat kecil, tak sebanding dengan anggaran bagi kegiatan lainnya.

Anggaran pengelolaan, pengamanan dan perlindungan hutan senilai Rp91,19 juta, sedangkan untuk pengkajian dampak lingkungan dan evaluasi lingkungan Rp195 juta. Jumlah ini sangat kecil jika dibanding dengan anggaran pengadaan perlengkapan rumah jabatan/dinas yang diusulkan biro umum dan protokol kantor gubernur, mencapai Rp3,76 miliar.

RAPBA 2010 memang mengalokasikan anggaran sebesar Rp42,57 miliar untuk program perlindungan dan konservasi sumber daya hutan. Namun, 92,52 persen dari anggaran itu atau Rp39,39 miliar, dialokasikan untuk rekruitmen Polisi hutan (Polhut) kontrak. Akibatnya, biaya operasional illegal logging dipatok sebesar Rp1,09 miliar.

“Anggaran ini terlalu kecil dan tidak sebanding dengan visi Aceh Green yang begitu ambisius dikumandangkan Gubernur Aceh,” katanya.

Ia berharap, DPRA bisa meminta penjelasan kepada Gubernur Aceh terkait tidak jelasnya pelaksanaan visi Aceh Green dalam RAPBA 2010. Pemerintah Aceh dan kabupaten/kota harus memperhatikan penggunaan bahan baku kayu dalam pengerjaan proyek-proyek yang dibiayai melalui APBA dan APBK.

“Dalam dua tahun terakhir, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI memberi perhatian khusus dalam hal audit proyek-proyek pembangunan yang terkait dengan kehutanan, seperti yang telah dilakukan di beberapa provinsi lain,” ungkap Vanda.

Pihaknya mendukung kebijakan Gubernur Aceh untuk menghentikan operasi HPH di Aceh karena kinerjanya buruk. “Namun program Aceh Green jangan sampai menyuburkan praktik illegal logging di daerah ini,” tegasnya.

Menurut Kepala Dinas Bina Marga dan Cipta Karya Aceh, Muhyan Yunan, penilaian tersebut terlalu berlebihan.

“Pada tahun ini untuk proyek pembangunan rumah duafa saja, dana yang baru tersedia hanya untuk membangun 800 unit rumah, bagaimana bisa dikatakan menyuburkan ilegal loging,” ujar Muhyan.

Muhyan mengakui bahwa pagu anggaran dinasnya senilai Rp1,1 triliun. Anggaran sebesar itu, pada umumnya untuk melanjutkan pekerjaan pembangunan jalan dan jembatan yang berstatus multi years pada tahun 2010. Tahun ini merupakan tahun terakhir dan tahun penuntasan. Kalau pun ada proyek yang menggunakan kayu, kebutuhannya sangat kecil.

“Misalnya, pembangunan rumah duafa pada tahun lalu, kerangka atapnya menggunakan kerangka baja ringan,” kata Muhyan.

Ia menjelaskan, jika rumah duafa yang akan dibangun tahun ini hanya sekitar 800 unit, otomatis kebutuhan kayunya jauh menurun dari tahun lalu yang mencapai 4.000 unit. “Bahan rumah yang menggunakan kayu hanya untuk kusen pintu dan jendela.”

Menurut Muhyan, kebutuhan kayu dalam proyek infrastruktur sejak pencanangan dan penerapan moratorium illegal logging di Aceh tiga tahun lalu, diminimalkan sampai pada persentase yang terendah. “Hal ini supaya dua pogram yang telah dilaksanakan itu bisa mencapai sasaran yang maksimal.”

Hal senada juga disampaikan Sekda Aceh, Husni Bahri TOB, selaku Ketua Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA). Menurutnya, program pembangunan infrastruktur yang dilakukan saat ini adalah program yang meminimalisasi penggunaan kayu. Salah satu tujuannya untuk mengurangi jumlah penebangan kayu liar di hutan produksi maupun hutan lindung yang terdapat di kabupaten/kota.

Jadi jika ada pembukaan jalan baru, maka sebelum dilakukan pekerjaan proyek hari terlebih dahulu dibuat amdalnya. Ini sudah menjadi persyaratan yang ketat bagi Pemerintah Aceh dalam meningkatkan pembangunan infrastrukturnya berwawasan lingkungan dan menyelamatkan hutan.

Bahkan sesuai dengan arahan Gubernur Irwandi Yusuf, banyak proyek infrastruktur yang berdampak luas bagi kerusakan hutan lindung dan hutan produksi sudah dihentikan. Salah satu buktinya, penghentian pembangunan penampungan air untuk PDAM di hutan lindung di Takengon, Aceh Tengah.

“Gubernur telah mengeluarkan surat kepada Bupati Aceh Tengah untuk menyetop pekerjaan tersebut,” ujar Husni Bahri TOB.



Bargaining Politik

Pembahasan RAPBA 2010 telah dimulai sejak 18 Januari lalu. Jadwal pengesahan RAPBA 2010 yang awalnya direncanakan Badan Musyawarah (Bamus) dan Badan Anggaran DPRA, akan disahkan akhir bulan ini, tapi ternyata bergeser lagi hingga 22 Maret 2010.

Lembaga swadaya masyarakat (LSM) menilai, kinerja DPR Aceh dalam pembahasan anggaran RAPBA 2010 tidak konsisten dan cenderung terjebak dalam bargaining (tawar-menawar) politik dengan eksekutif. Seharusnya dewan berpijak dan berkaca atas apa yang diamanahkan undang-undang.

“DPRA harus lebih konsisten dan kooperatif dalam menuntaskan tugas utama, bukan malah lebih mementingkan kelompok atau partai, sebab kondisi ini akan membawa dampak negatif terhadap kondisi riil masyarakat Aceh,” kata Pejabat sementara Koordinator GeRAK Aceh, Askhalani.

Menurut Askhalani, molornya pengesahan RAPBA 2010 dari jadwal yang telah disepakati akan menjadi catatan hitam atas kegagalan terwujudnya tata kelola pemerintahan yang baik di Aceh (good government). Terutama menyangkut tata kelola anggaran. Sejarah kelam tersebut, diperkirakan akan kembali terulang dan dapat dipastikan akan sama halnya dengan kondisi anggaran di tahun 2008.

“Keadaan ini tidak terlepas dari gonjang-ganjing politik anggaran yang dimainkan oleh anggota parlemen di DPRA, terutama dalam usulan dana aspirasi dewan,” ujar Askhalani.

Jika melihat pada proses pembahasan dan pengesahan anggaran 2008 dan 2009, tahun 2008 adalah tahun pertama pengesahan APBA paling telat disahkan. Jika ini kembali terulang, maka Aceh akan mengalami kerugian besar. Di antaranya akan ada pemotongan dana alokasi umum (DAU), sebagai konsekuensi keterlambatan pengesahan anggaran.

Persoalan ini juga akan berimplikasi terhambatnya berbagai program peningkatan kesejahteraan, karena anggarannya sudah tak tersedia. Bahkan akan berimbas pada munculnya opini masyarakat, bahwa keberadaan tokoh dari partai lokal di parlemen tidak membawa manfaat besar bagi masyarakat Aceh.

“Untuk menghindar dari cibiran tersebut eksekutif dan legislatif harus melakukan komunikasi politik dan inovasi sebelum limit waktu berakhir,” tegas Askhalani.

Sementra itu, Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian mengatakan, seharusnya pihak DPRA bisa belajar dari keberhasilan pembahasan RAPBA tahun 2009 dan menjadi satu landasan yang harus dilanjutkan. “Bukan malah makin membuat jadwal pengesahan anggaran lebih kacau dan molor.”

Berdasarkan hasil analisa GeRAK Aceh dan MaTA, molornya pembahasan RAPBA 2010 diyakini karena tingginya tensi trik politik yang dimainkan DPRA. Hal ini dinilai berdampak luas terhadap kondisi sektor riil dan keberlanjutan pembangunan Aceh.

Alfian menyebutkan, eksekutif dan legislatif perlu segera mengambil langkah konkret terkait molornya waktu pembahasan RAPBA 2010. Proses yang harus segera ditempuh adalah menjadwal ulang percepatan pembahasan APBA 2010 untuk kepentingan publik Aceh.

“Syarat ini harus dilakukan sebagai upaya untuk menyelamatkan Provinsi Aceh dari penalti anggaran oleh pemerintah pusat dalam bentuk pemotongan DAU sebesar 20 persen dari total anggaran yang diterima provinsi ini, jika pengesahan APBA tidak tepat waktu,” tegasnya.

Penyebab molornya pengesahan RAPBA 2010 antara lain, jadwal sidang paripurna untuk pengesahan RAPBA 2010 bergeser. Karena pada pertengahan bulan ini DPRA lebih mendahulukan sidang membahas hasil temuan Panitia Khusus (Pansus) I-VIII yang dibentuk Pimpinan DPRA untuk memeriksa kondisi riil progress proyek APBA 2008 di lapangan, yang pembayaran tunggakannya sudah disetujui DPRA untuk segera dibayar.

Namun di balik molornya jadwal tersebut, juga ditengarai ada kaitannya dengan bargaining poltik antara eksekutif dan legislatif terkait plot anggaran untuk dana aspirasi anggota dewan.[]




0 comments:

Post a Comment

Berikan komentar anda yang membangun....

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls