BPPPA Terbentuk, KPAID Dibekukan

Setelah BPPPA terbentuk, Pemerintah Aceh memutuskan untuk membekukan KPAID. Padahal kasus terhadap anak masih meningkat di Aceh.


Di tengah laporan meningkatnya kasus terhadap anak, secara mengejutkan, Pemerintah Aceh melalui Sekretaris Daerah Husni Bahri TOB, mengeluarkan surat yang menyatakan tidak lagi memperpanjang masa tugas Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Aceh.

Terbentuknya Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang merupakan lembaga resmi Pemerintah Aceh, menjadi salah satu hal yang mendasari keputusan itu. Protes pun bermunculan dari sejumlah kalangan, terutama para pekerja masyarakat.

Aktivis perlindungan anak, Anwar Yusuf Ajad menilai, Sekda Aceh tidak menggunakan dasar-dasar pertimbangan yang terbaru sebelum menentukan sikap. Bahkan Sekda Aceh dianggap telah mengabaikan rekomendasi (dukungan) DPRA untuk kelanjutan KPAID Aceh, dukungan keberadaan KPAID Aceh dari KPAI, dan pencabutan status quo pembentukan KPAID dari KPAI.

Menurut Anwar, kehadiran KPAID di daerah ini mutlak diperlukan, mengingat banyaknya kasus anak. Hal itu juga sesuai dengan Keppres Nomor 77 Tahun 2003 Pasal 9 ayat 1 yang menyatakan, apabila dipandang perlu dalam menunjang pelaksanaan tugasnya, KPAI dapat membentuk perwakilan di daerah.

“Untuk tujuan membentuk perwakilan di daerah, juga sudah diterbitkan Pedoman Pembentukan KPAID,” ujar mantan Ketua KPAID Aceh ini.

Ia menjelaskan, dasar kebutuhan keberadaan KPAID di Aceh, juga bisa terlihat dari tingginya kasus anak sejak masa konflik hingga pasca tsunami. Bahkan, KPAI akan menjadikan KPAID Aceh sebagai proyek percontohan dalam hal penanganan kasus anak.
Selama 2009, tercatat 58 kasus anak yang masuk ke KPAID Aceh. Dengan berbagai keterbatasan, KPAID telah berusaha maksimal untuk melakukan pendampingan atau advokasi terhadap hak-hak anak sebagaimana diamanatkan undang-undang.

“Hingga kini masih ada 45 kasus lagi yang belum berhasil kami selesaikan. Kasusnya sangat beragam, mulai dari penelantaran oleh orang tua sampai pelecehan seksual,” sebut Anwar yang juga mantan Ketua KPAID Aceh.

Pihaknya berharap bisa terus bermitra dengan Pemerintah Aceh. “Tetapi kenyataannya Pemerintah Aceh menganggap keberadaan KPAID tak perlu lagi.”
Dalam menangani kasus anak di Aceh, KPAID juga menampung anak-anak yang menjadi korban. Bahkan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, KPAID harus menjamin anak tersebut tidak melarikan diri dari pengawasan KPAID.

Pembekuan KPAID Aceh sebagaimana tertuang dalam surat Nomor: 260/1663 tanggal 20 Januari 2010 yang diteken Sekda Aceh, Husni Bahri TOB. Dasar pertimbangan pembekuan KPAID Aceh antara lain, Surat Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Tanggal 26 Maret 2008 Nomor: 158/KPA/III/2008 tentang Status Quo Pembentukan KPAID, bahwa untuk sementara waktu diharapkan agar tidak membentuk KPAID baik berdasarkan keputusan gubernur maupun bupati/walikota.

Namun menurut Anwar, dasar pertimbangan yang digunakan (Surat KPAI Tanggal 26 Maret 2008 Nomor: 158/KPA/III/2008 tentang Status Quo Pembentukan KPAID) merupakan kesalahan, karena pada 3 Juli 2008 KPAI sudah mengirimkan surat Nomor: 306/KPAI/VII/2008 kepada seluruh gubernur/bupati/walikota di Indonesia tentang pencabutan status quo pembentukan KPAID.

“Nyatanya surat pencabutan status quo itu diabaikan, namun yang dijadikan dasar malah surat terdahulu tentang Status Quo Pembentukan KPAID,” kata Anwar Yusuf.

Ia menilai, Sekda Aceh juga tidak mempertimbangkan rekomendasi (dukungan) DPRA Nomor: 230/3626 Tanggal 22 Desember 2009 yang ditujukan kepada Gubernur Aceh. DPRA mendukung dan merekomendasikan Drs Anwar Yusuf Ajad, Yulismawati SP, Muhammadiyah Nurdin, Drs Yuswar Yusuf, Muhammad Dali SH, Muhammad Zaki SH Mk.n, dan Saifullah SSos.I sebagai calon pengganti anggota KPAID Aceh periode 2010-2012. Rekomendasi yang diteken Ketua DPRA, Drs Hasbi Abdullah itu mengharapkan kepada Gubernur Aceh mempertimbangkan sesuai dengan prosedur dan mekanisme yang berlaku.

Keberadaan KPAID Aceh juga mendapat dukungan dari KPAI yang ditujukan kepada Gubernur Aceh, antara lain menyebutkan karena sampai sekarang KPAI belum berhasil membentuk KPAI Perwakilan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 9 Keppres Nomor 77 Tahun 2003, maka dimohon kepada Gubernur Aceh bisa meneruskan kepengurusan KPAID Aceh periode 2009 untuk masa bakti kepengurusan 2010-2012.

Dukungan pembentukan KPAID juga tertuang dalam surat Mendagri tertanggal 13 September 2005 yang ditujukan kepada gubernur/bupati/walikota seluruh Indonesia tentang pembentukan KPAID. Dalam surat itu antara lain ditegaskan, menjadi kewajiban dan tanggung jawab pemerintah untuk memberikan perlindungan kepada anak Indonesia sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam Pasal 20 menyatakan bahwa, negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban dan bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.

Pasal 74 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 mengamanatkan, dalam rangka meningkatkan efektivitas penyelenggaraan perlindungan anak, dengan undang-undang ini dibentuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang bersifat independen. Berdasarkan Pasal 9 ayat 1 Keppres Nomor 77 Tahun 2003 tentang Komisi Perlindungan Anak Indonesia menyatakan, apabila dipandang perlu dalam menunjang pelaksanaan tugasnya, KPAI dapat membentuk perwakilan di daerah.

Kepala Biro Hukum dan Humas Setdaprov Aceh, Makmur SH.M.Hum berpendapat, pembekuan KPAID yang dilakukan Pemerintah Aceh melalui Sekda Husni Bahri TOB, sudah sesuai ketentuan yang berlaku. Makmur merujuk kepada UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Keppres Nomor 77 Tahun 2003 tentang KPAI serta Qanun Nomor 11 Tahun 2008 tentang Perlindungan Anak.

“Pembubaran KPAID sudah sesuai ketentuan yang ada. Berdasarkan aturan tersebut, KPAI hanya bisa diperpanjang satu tahun ke depan sedangkan KPAID tidak disebutkan dalam Keppres itu,” kata Makmur.

Makmur mengatakan, jika KPAID dibuka kembali, harus dilakukan penelaahan dengan Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (BP3A). Sebab, berdasarkan Qanun Nomor 11 Tahun 2008 tentang Perlindungan Anak, seluruh persoalan yang menyangkut dengan anak dilimpahkan kepada BP3A.

“Pemerintah Aceh bukan tidak memiliki komitmen untuk anak. Namun kita khawatirkan, jika KPAID terus dilanjutkan akan berbenturan dengan UU dan peraturan yang ada,” katanya.

Menurut dia, kalau pun KPAID diperpanjang, maka status KPAID bukan lagi sebagai komisi negara melainkan sebagai lembaga yang didirikan berdasarkan akta notaris, dan pelaksanaan tugasnya harus di bawah koordinasi BP3A.

“Untuk itu, kita juga harus melakukan penjaringan kembali melalui seleksi ketat yang dilakukan oleh gubernur kemudian diserahkan ke DPRA,” jelas Makmur.

Kepala Badan PPPA, Ir Ismayani menilai, KPAID yang selama ini bernaung di bawah Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PP dan PA), mendapat kucuran dana yang bersumber dari APBA melalui Badan PPPA. Anggaran tahun 2009 lalu saja lembaga tersebut telah mendapat kucuran dana lebih dari Rp1 miliar. Pada tahun 2008 kepada KPAID dialokasikan dana sebesar Rp1,2 miliar, tahun 2009 sebesar Rp1 miliar lebih dan tahun 2010 mengajukan dana sebesar Rp4,9 miliar lebih.

"Pengajuan anggaran Rp4,9 miliar ini sangat tidak logis, sebab anggaran Badan PPPA saja tak sampai sebesar itu pada tahun ini," ujar Ismayani.

Meskipun demikian, Ismayani mengungkapkan, pembubaran KPAID Aceh ini tidak ada kaitannya dengan besarnya anggaran yang diajukan. Hal tersebut sesui dengan keputusan KPAID pusat dengan diperkuat oleh habisnya masa kepengurusan KPAID Aceh.

"Lembaga ini didirikan bedasarkan kebutuhan daerah dan kebijakan daerah," tegas Ismayani. Menyangkut kebijakan eksistensi KPAID diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah daerah.

“Bentuk kelembagaan, nama lembaga, rekruitmen, masa kerja dan anggaran diserahkan kepada pemerintah daerah,” jelas Imayani.

Menurutnya, Pemerintah Aceh pada prinsipnya tidak keberatan atas keberadaan KPAID atau melarang apalagi menghambat kehadiran lembaga-lembaga masyarakat madani yang melakukan pengawasan, termasuk melakukan pengawasan dan memberdayakan kepentingan anak.

“KPAID boleh saja membuat lembaga baru dengan nama lain dan bermitra dengan kita, tapi jangan bergantung pada APBA,” kata Ismayani.

Wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar, ketika membuka langsung rapat koordinasi lintas sektor tentang perlindungan anak di kantor KPAID Aceh beberapa waktu lalu mengatakan, kasus-kasus yang melibatkan anak sebelumnya tidak terlalu signifikan, namun pascakonflik dan bencana tsunami, mulai terlihat peningkatan. Baik dari kasus kekerasan, eksploitasi, kesehatan, pendidikan, narkoba maupun pelecehan seksual yang melibatkan anak-anak.

“Instrumen perlindungan anak yang sudah ada, baik milik pemerintah maupun LSM, harus berkoordinasi. Hal itu harus dimulai dari tingkat yang paling rendah, seperti keuchik untuk melapor, jika menemukan kasus yang melibatkan anak di lingkungannya,” kata Muhammad Nazar.

Menurut Wagub, keberadaan KPAID Aceh tetap dibutuhkan, tentunya dengan tugas-tugas dan kewenangan yang dipertajam pada pengawasan dan membantu dinas/badan terkait ketika dibutuhkan. Sebab ada sisi-sisi yang tidak mungkin dilaksanakan oleh Badan Perlindungan Anak dapat dilakukan oleh komisi. Bahkan, lembaga-lembaga masyarakat madani yang melakukan pengawasan dan memberdayakan kepentingan anak harus lebih banyak di Aceh. Karena anak-anak adalah sumber daya dan andil masa depan sebuah bangsa dan negara.

Tapi, komisi dan lembaga-lembaga tersebut diharapkan tidak terlalu bergantung pada APBA. Artinya, dapat saja bekerja sama dan dengan donatur dan lembaga lain untuk mencari sumber pembiayaan, dan Pemerintah Aceh siap merekomendasikan.

“Tapi apabila dananya cukup, daerah tetap akan memberikan perhatian,” kata Nazar.

Ia melanjutkan, jika secara hukum tidak bertentangan, maka tidak ada masalah. Lembaga-lembaga non-pemerintah yang tidak ada kaitan dengan pemerintah bisa hadir, apalagi KPAID, komisi nasional yang semi pemerintah.

“Itu kan sama seperti Komisi HAM, walau sudah ada Depkumham tetapi komisi tetap dibutuhkan. Paling tidak untuk tugas-tugas pengawasan dan pemberian data-data yang luput dari kerja pemerintah,” ujarnya.

Hal terpenting, tugas-tugas yang dilakukan komisi tidak overlap dengan dinas atau badan. Kehadirannya harus dapat membantu pemerintah dan masyarakat dengan melakukan koordinasi penuh serta dikelola secara profesional.
Pembekuan KPAID menuai protes, sebanyak 23 LSM peduli soal perlindungan anak dan perempuan, mengecam keras sikap Pemerintah Aceh.

“KPAID tidak perlu dibubarkan. Hanya dibutuhkan evaluasi menyeluruh atas kinerja pengurusnya,” kata Norma Susanti, dari Divisi Perempuan dan Anak, Koalisi NGO HAM Aceh.

Menurutnya, membekukan KPAID hanya akan memperlemah kinerja Pemerintah Aceh dalam melindungi anak. Keberadaan KPAID diperlukan untuk mengawasi dan memastikan penyelenggaraan perlindungan anak oleh pemerintah di Aceh.
“KPAID mutlak diperlukan untuk mengawasi kinerja BP3A, karena KPAID adalah lembaga independen,” ungkap Norma Susanti.

Kekhawatiran yang sama juga disampaikan Taufik Riswan, dari Koalisi Advokasi Pemenuhan Hak Anak Aceh (KAPHA). Ia menilai, pembubaran KPAID akan menambah kesulitan mencegah dan menangani permasalahan anak terjadi di Aceh. KPAID Aceh sudah bekerja dalam melindungi anak di Aceh, tapi belum maksimal.
Saat ini 58 kasus anak yang kini masih ditangani KPAID Aceh, di antaranya terkait pelecehan seksual, trafficking, penelantaran anak, dan lainnya.
“Jika dibubarkan, siapa yang akan melanjutkan yang ini,” ujar Taufik.[]

1 comments:

Haruskah Anak Dipenjara? said...

Saya pikir, BPPPA seperti juga BPPKB di daerah lain, sering berjalan tidak efektif..

Post a Comment

Berikan komentar anda yang membangun....

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls