“Tiarap!”
teriak seorang dari mereka.
Sontak
semua orang menjatuhkan badan ke tanah, sambil mencari
tempat berlindung di antara pepohonan dan
semak-semak. Karena panik, seorang dari mereka tak mampu
mengendalikan keseimbangan tubuhnya. Ia jatuh dari bukit,
terguling ke tanah, lalu terperosok dalam lubang dangkal.
“Rupanya
saya berada dalam kubangan,” kisah Hidayat, lelaki itu, pada saya.
Jantungnya
berdetak kencang. Ia terus berusaha merangkak ke tempat kering. Badannya penuh lumpur. Kejadian malam
itu benar-benar tak berpikir olehnya.
Hidayat berusia 30
tahun, berkulit hitam. Badannya tegap, dengan tinggi sekitar
165 sentimeter. Sehari-hari ia bekerja sebagai petani. Sambil menarik asap
rokoknya dalam-dalam, ia terus menceritakan pengepunganorang-orang yang
kemudian disebut teroris di koran maupun televisi itu. Ia ikut
penyergapan pertama di pegunungan Jalin, Jantho, Aceh Besar itu.
Senin, 22
Februari 2010, jarum jam menunjukkan pukul 23.30.
Hidayat berada di satu warung di kampungnya di desa
Jalin, bersama beberapa warga. Malam itu ia berencana menginap di kebun
untuk menjaga hasil kebunnya dari gangguan babi hutan.
Ketika
ia sedang asyik berbincang-bincang, seorang pemuda datang
menghampirinya dan memberitahukanbahwa keuchiek (kepala
desa) memanggilnya karena ada keperluan mendesak dan penting. Hidayat pun langsung
beranjak dari tempat duduknya dan pergi ke rumah keuchiek yang tak
jauh dari warung itu.
Ia
bertanya-tanya dalam hati apa yang membuatnya dipanggil keuchiek.
Jawaban itu segera ia dapat begitu tiba di rumah Darwis, keuchiek Jalin.
“Yat,
saya mau minta tolong sama kamu untuk membantu
anggota Polres (kepolisian resor) ke gunung Jalin.
Mereka tidak tahu jalannya,” kata Darwis.
Hidayat sendiri
tak tahu alasan Darwis memintanya menemani polisi-polisi itu. Semula Darwis
yang akan menemani mereka, tapi ia lalu menunjuk Hidayat.
Hidayat
bahkan tak berani menanyakan apa tujuan anggota polisi ke gunung
tersebut dan langsung mengiyakan permintaan kepala desanya.
Ia mengira polisi ingin mencari rusa atau ladang ganja.
Hidayat
pun pergi ke pegunungan Jalin bersama para polisi bersenjata
lengkap. Seingat Hidayat, jumlah polisi malam itu sekitar 30
orang dan lima di antaranya dari kesatuan Brigade
Mobil atau Brimob.
Hidayat berjalan di depan sebagai penunjuk jalan. Mereka terus menelusuri jalan setapak dan berbatu dalam gelap. Di tengah perjalanan, seorang polisi memberitahukan tujuan perjalanan mereka malam itu.
Hidayat berjalan di depan sebagai penunjuk jalan. Mereka terus menelusuri jalan setapak dan berbatu dalam gelap. Di tengah perjalanan, seorang polisi memberitahukan tujuan perjalanan mereka malam itu.
“Tahu
tidak pak, kenapa kami minta bantu tunjukin jalan?” tanya polisi itu pada
Hidayat.
“Tidak Pak,” jawab Hidayat.
“Tidak Pak,” jawab Hidayat.
“Kami
sedang mencari teroris,” kata si polisi.
“Ah
bapak becanda. Mana ada teroris di Aceh,” kata Hidayat ketika
itu, tak mempercayai apa yang didengarnya.
Namun,
polisi itu tidak berkata apa-apa lagi. Merasa tidak mendapat tanggapan lebih
jauh, pikiran Hidayat pun mulai melayang ke mana-mana. Ia sempat berpikir,
jika apa yang dikatakan polisi itu benar, maka malam itu akan menjadi musibah
besar baginya. Mau minta untuk kembali lagi ke desanya, sudah tak
mungkin lagi.
Seluruh polisi terlihat
makin waspada ketika mereka mulai melewati semak-semak,
rawa dan perbukitan kecil. Sedikit ada suara mencurigakan, langkah pun
langsung berhenti.
Tak
terasa mereka telah berjalan sejauh tiga
kilometer meninggalkan desa Jalin. Di tengah perjalanan, tiba-tiba
salah seorang polisi meminta mereka semua berhenti. Handy talkie atau
HT yang terselip di pinggangnya berbunyi. Hidayat dan yang lainnya bisa
mendengar dengan jelas suara dari alat komunikasi tersebut. Suara itu
memerintah seluruh pasukan untuk menghentikan pencarian dan kembali ke desa.
“Mereka
(anggota polisi) mendapat telepon dari Polres Aceh Besar, agar segera kembali
ke desa karena ada informasi baru,” tutur Hidayat kepada saya.
Hidayat
bersama para polisi pun segera berbalik arah, kembali ke desa Jalin.
Ketika mereka berjalan turun sekitar 300 meter, mereka dikejutkan dengan suara
tembakan dari seberang perbukitan.
Hidayat tidak ingat jumlah tembakan malam itu. Situasi benar-benar tegang dan yang terpikir olehnya waktu itu bagaimana bisa keluar dengan selamat dari sana. Beruntung, anggota polisi tidak naik sampai kegunung Jalin. Selain medan tempuh yang sulit dijangkau dan keterbatasan pasukan, mereka juga sudah diperintahkan untuk kembali ke desa.
Hidayat tidak ingat jumlah tembakan malam itu. Situasi benar-benar tegang dan yang terpikir olehnya waktu itu bagaimana bisa keluar dengan selamat dari sana. Beruntung, anggota polisi tidak naik sampai kegunung Jalin. Selain medan tempuh yang sulit dijangkau dan keterbatasan pasukan, mereka juga sudah diperintahkan untuk kembali ke desa.
“Situasi
menegangkan itu tak berlangsung lama. Setelah memastikan keadaan benar-benar
aman, kami pun kembali bergerak menuruni perbukitan menuju desa,”
ujar Hidayat.
Meski
di masa konflik sudah terbiasa dengan suara
tembakan, namun Hidayat belum pernah terlibat langsung. Tapi malam
itu, ia merasa seperti “pelanduk di antara dua gajah yang bertikai.”
Setelah melewati beberapa gundukan bukit dan pekebunan penduduk, akhirnya rombongan tiba di desa. Hidayat melihat jam di tangannya menunjukkan pukul 02.30. Ia langsung membersihkan badannya yang berbalut lumpur. Malam itu seluruh anggota polisi memutuskan menginap di desa Jalin untuk berjaga-jaga.
Setelah melewati beberapa gundukan bukit dan pekebunan penduduk, akhirnya rombongan tiba di desa. Hidayat melihat jam di tangannya menunjukkan pukul 02.30. Ia langsung membersihkan badannya yang berbalut lumpur. Malam itu seluruh anggota polisi memutuskan menginap di desa Jalin untuk berjaga-jaga.
Desa
Jalin terletak di pedalaman Jantho, Aceh Besar. Jarak tempuh
dari Kota Jantho, ibukota Aceh Besar,ke desa
ini sekitar tujuh kilometer dengan kendaraan
bermotor. Ketika saya dan seorang teman menuju desa
ini, sepanjang jalan Gapura (jalur masuk
dari kota Jantho) begitu sepi. Hanya satu-dua
kendaraan yang melintas. Jalan Gapura berhubungan langsung
dengan cagar alam yang berjarak sekitar 18 kilometerdari Kota
Jantho. Jalur ini masih bisa dilalui, meski banyak
lubang memenuhi jalan.
Namun,
jalan ke desa Jalin sulit dilalui kendaraan. Selain tanjakan dan tikungan
tajam, badan jalan dipenuhi bebatuan. Tidak ada aspal sepanjang jalan
masuk desa . Perbukitan dengan jurang terjal dan hamparan sawah berada
di sisi kiri dan kanan jalan.
Desa
Jalin berada di kawasan Pegunungan Jalin. Jarak tempuh dari desa ke
pegunungan itu sekitar 10
kilometer. Di situlah disebut-sebut sebagai tempat
latihan tempur kelompok yang diduga teroris tadi. Selaindesa
Jalin, pegunungan Jalin juga dikelilingi beberapa desa lain,
seperti desa Weu, Jantho Lama, Jantho Baru dan Suka Tani.
Pegunungan Jalin
adalah batas wilayah kabupaten Aceh Besar dan kabupaten Pidie.
Menurut keterangan warga, jalur ke pegunungan tersebut sangat sulit
ditempuh dari arah desa Jalin. Sehingga sangat jarang masyarakat yang
berani ke sana. Kebanyakan warga yang ingin ke sana, lebih memilih
melewati Jalan Gapura.
“Tapi
kebanyakan penduduk tidak tahu ada penyerangan malam itu. Kami tetap
beraktivitas seperti biasa,” ujar Hidayat lagi.
PAGI harinya, warga Aceh Besar dan Banda Aceh, dikejutkan dengan kabar pengepungan lokasi latihantempur kelompok yang disebut teroris di pegunungan Jalin. Ada yang menyebut kelompok ini terkait dengan Jamaah Islamiyah, kelompok Islam radikal di Indonesia yang anggotanya terlibat bom Bali dan pengeboman hotel Marriot di Jakarta. Kebanyakan korban pengeboman itu warga biasa, yang tengah berlibur dengan keluarga atau pegawai hotel atau kafe. Kelompok ini juga terkenal dengan sikapnya yang anti asing atau anti Barat.
Polisi menangkap
empat orang dalam penyerbuan tersebut.
Kepala
Kepolisian Aceh, Inspektur Jenderal Polisi Adityawarman, sebagaimana
dikutip situs Acehkita,menyebut keempat orang tersebut ditangkap
sekitar pukul 23.30 Wib. Orang-orang ini sebelum dibekuk juga menyerang
anggota kepolisian. Kelompok ini, menurut Adityawarman, sengaja memusatkan
latihan di Aceh untuk mengelabui aparat dan mengesankan kehadiran mereka itu
berkaitan dengan situasi lokal (seolah-olah berkaitan dengan aksi Gerakan Aceh
Merdeka atau politik di Aceh pascakonflik).
Empat orang
yang ditangkap, yaitu Ismet Hakiki, 40 tahun, warga Pandeglang, Jawa
Barat, Yudi Zulfahri, 27 tahun, warga Banda Aceh, Zaki Rahmatullah, 37 tahun,
warga Pandeglang dan Masykur Rahmat, 21 tahun, warga Miruk, kecamatan
Krueng Barona Jaya, Aceh Besar.
Polisi juga menyita sejumlah barang bukti seperti sangkur, kitab suci Alquran, seragam militer, uang, dan jaket.
Pada 25
Februari 2010, kepolisian Aceh Besar menggeledah
sebuah rumah di Saree dan menemukan sejumlah peluru senjata laras
panjang di atas plafon.
Tiga
penghuni rumah itu ditahan polisi. Penangkapan ketiganya berdasarkan
informasi yang diperoleh polisi dari empat orang yang telah ditangkap
sebelumnya di pegunungan Jalin.
Seminggu
kemudian, pada 3 Maret 2010, Kepolisian Sektor Padang Tiji, Pidie, juga
menembak mati seorang penumpang bus, yang disangka anggota kelompok
tersebut.
Bus
yang bergerak dari Banda Aceh menuju Medan itu membawa tiga orang
penumpang yang naik tak jauh dari lokasi razia. Namun, begitu bus
berhenti karena razia, tiga penumpang tersebut panik dan mencoba melarikan
diri.
Sehari
sesudahnya, kontak senjata antar polisi
dan anggota kelompok itu terjadi lagi di Aceh
Besar. Kali ini di kawasan hutan Lamkabeu, kecamatan Seulimum, Aceh Besar.
Dalam
operasi tersebut, sebelas anggota Brimob luka-luka dan
tiga lainnya meninggal dunia.
Dalam pengepungan di dua lokasi di Aceh Besar, pegunungan Jalin dan hutan Lamkabeu, tiga warga sipil juga ikut jadi korban.
Dalam pengepungan di dua lokasi di Aceh Besar, pegunungan Jalin dan hutan Lamkabeu, tiga warga sipil juga ikut jadi korban.
Kamaruddin,
37 tahun, dan anaknya, Suheri, 14 tahun, warga desa
Lam Leupueng, kecamatan Kuta Cot Glie,
tersambar peluru saat pengepungan berlangsung.
Kamaruddin
meninggal di tempat, sementara Suheri mengalami luka tembak akibat dua
peluru menembus kaki dan dadanya. Suheri masih bisa diselamatkan dan mendapat
perawatan di Rumah Sakit Bhayangkara Polda Aceh.
Waktu
itu ayah dan anak ini tengah mencari ikan di Kreung Linteung
yang berada di kaki pegunungan Jalin. Krueng Linteung
terkenal dengan ikan-ikannya, terutama ikan kerling. Sungai ini juga
mengairi sawah wargadi beberapa desa sekitarnya.
Polisi
menyatakan bahwa kedua korban merupakan warga biasa dan salah
tembak. Adiyawarman juga minta maaf. Bentuk tombak ikan ayah dan anak
tersebut yang menyerupai bentuk senjata laras panjang dalam kegelapan itu
membuat polisi menembak mereka.
Nasib serupa juga menimpa Nurbahri, lelaki paruh baya warga Meunasah Tunong, Lamkabeue, kecamatan Seulimum. Ia jadi korban di tengah kontak senjata polisi dan kelompok itu di Lamkabeue.
Nasib serupa juga menimpa Nurbahri, lelaki paruh baya warga Meunasah Tunong, Lamkabeue, kecamatan Seulimum. Ia jadi korban di tengah kontak senjata polisi dan kelompok itu di Lamkabeue.
PADA Jumat, 12 Maret 2010, anggota Kepolisian Sektor Leupung, Aceh Besar berhasil menggagalkan upaya pelarian 10 anggota kelompok tersebut. Mereka berencana menuju Calang dengan menyewa angkutan umum jenis L-300.
Kepada
sopir angkutan, mereka mengutarakan
niat untuk bekerja sebagai penebang kayu di pantai Barat
Aceh. Mereka menyebut lima pucuk senjata laras
panjang dalam karung yang mereka bawa sebagai chainsaw, alat
pemotong pohon.
Polisi
menewaskan dua orang dalam operasi pengepungan itu. Mereka
adalah Encang Kurnia alias Jaja alias Umar Yusuf, asal Lampung dan Pura
Sudarma alias Muttakin asal Bandung.
Polisi juga menyita dua pucuk senjata jenis AK, tiga senjata jenis M-16, dan satu pistol jenis Glock.
Sejak pengepungan pertama kali dilakukan, polisi menyatakan telah menangkap 14 anggota kelompok bersenjata di Aceh. Jumat, 5 maret 2010, 14 anggota kelompok tersebut diterbangkan ke Jakarta untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Polisi juga menyita dua pucuk senjata jenis AK, tiga senjata jenis M-16, dan satu pistol jenis Glock.
Sejak pengepungan pertama kali dilakukan, polisi menyatakan telah menangkap 14 anggota kelompok bersenjata di Aceh. Jumat, 5 maret 2010, 14 anggota kelompok tersebut diterbangkan ke Jakarta untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Menurut Inspektur
Jenderal Polisi Edward Aritonang dari Hubungan Masyarakat Markas Besar
Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri), sebagaimana dikutip situs detikcom,
kelompok tadi bermaksudmenjadikan Aceh sebagai wilayah Negara
Islam Indonesia dan Daulah Islam Asia Tenggara.
Menurut Aritonang, anggota kelompok tersebut juga turun ke desa-desa untuk melakukan pembinaan, agar masyarakat mendukung programnya. Mereka juga mengintai kantor-kantor pemerintah di Aceh, kantor perwakilan Perserikatan Bangsa-Bangsa di Banda Aceh, kantor polisi dan markas tentara. Pasokan senjatauntuk kelompok ini berasal dari pulau Jawa. Jumlah keseluruhan mereka yang ikut latihan tempur di Jalin adalah 71 orang. Sampai tulisan ini diturunkan, polisi sudah menangkap 33 orang dan menembak tujuh orang. Sisanya, 31 orang masih dalam pengejaran.
Menurut Aritonang, anggota kelompok tersebut juga turun ke desa-desa untuk melakukan pembinaan, agar masyarakat mendukung programnya. Mereka juga mengintai kantor-kantor pemerintah di Aceh, kantor perwakilan Perserikatan Bangsa-Bangsa di Banda Aceh, kantor polisi dan markas tentara. Pasokan senjatauntuk kelompok ini berasal dari pulau Jawa. Jumlah keseluruhan mereka yang ikut latihan tempur di Jalin adalah 71 orang. Sampai tulisan ini diturunkan, polisi sudah menangkap 33 orang dan menembak tujuh orang. Sisanya, 31 orang masih dalam pengejaran.
Di
Jakarta, polisi menembak mati Dulmatin, salah seorang pemimpin kelompok
tersebut yang terlibat bomBali dan pernah melarikan diri ke Jolo, Filipina
Selatan.
Seorang
lagi yang ditembak mati adalah Maulana alias Mukhlis alias Ruslan alias
Lukman. Ia adalah tersangka percobaan
pembunuhan terhadap Mathori Abdul Jalil dari Nahdlatul Ulama
(NU) dan mantan menteri pertahanan di masa pemerintahan Megawati
Soekarno. Selain itu, polisi juga menembak Abu Hamzah alias Babe
alias Reza. Ia ternyata sepupu Shireen Sungkar, salah satu artis
sinetron Indonesia.
RABU, 17 Maret 2010, Munir alias Abu Rimba alias Abu Uteun, orang yang masuk daftar pencarian orang yang dikeluarkan Kepolisian Daerah (Polda) Aceh, akhirnya menyerahkan diri. Abu Rimba dicari-cari polisi terkait dugaan keterlibatannya dalam kelompok teror ini. Ia menyerah setelah dibujuk keluarga dan teman-temannya.
Sehari
sebelumnya, Mukhtar Ibrahim alias Mukhtar Al Faruk, yang disebut-sebut sebagai
Panglima Tandzim Al Qaeda Serambi Mekkah wilayah Pase, juga menyerahkan diri ke
Polres Kota Lhokseumawe dan kemudian dibawa ke Polda Aceh untuk pemeriksaan
lebih lanjut.
Mukhtar juga menyerahkan tiga pucuk senjata api jenis Colt dan sepucuk M-16, berikut ratusan peluru untuk pistol dan senjata laras panjang.
Mukhtar juga menyerahkan tiga pucuk senjata api jenis Colt dan sepucuk M-16, berikut ratusan peluru untuk pistol dan senjata laras panjang.
Pada
saat menyerahkan diri, Mukhtar ditemani gurunya, Teungku Muslim Attahiri,
pemimpin Dayah Darul Mujahidin di desa Weu Panjoe, Muara Dua, Lhokseumawe.
Mukhtar
disebut-sebut pernah menjadi panglima jihad di Front Pembela Islam (FPI)
wilayah Pase. FPI merupakan organisasi yang berbasis
di Jakarta dan terlibat dalam konflik antar agama
di Ambon dan Poso.Mukhtar pernah mengikuti pelatihan paramiliter yang
digelar FPI Aceh untuk diberangkatkan ke Gaza, Palestina, April 2009 lalu.
Latihan paramiliter itu dilaksanakan di Dayah Darul Mujahidin.
Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono segera mengumumkan bahwa kelompok ini tak punya kaitan
apapun dengan Gerakan Aceh Merdeka atau GAM.
Sebenarnya aksi
kelompok bersenjata bukan baru pertama kali terjadi di Aceh. Pada tahun 2009
saja ada beberapa kasus kejahatan bersenjata yang sampai saat ini
belum terungkap. Seperti penembakan terhadap Kepala Perwakilan Palang Merah
Jerman di Aceh, Erhard Bauer, pada 5 November 2009.
Erhard
ditembak pria yang mengendarai sepeda motor Yamaha RX King bersama
seorang rekannya. Insiden ini terjadi tak jauh dari Rumah Sakit Meuraxa,
Lampeuneurut, Aceh Besar. Korban mengalami luka tembak di
perut sebelah kiri, dan bagian pangkal lengan kanan.
Tempat tinggal John Penny, Kepala Perwakilan Uni Eropa, di Aceh Besar, juga ditembak orang pada 16 November 2009. Saat itu Penny dan istrinya Monica sedang berbincang-bincang di ruang tamu dengan seorang tamu mereka. Tidak ada korban jiwa dalam kejadian itu.
Nasib serupa juga dialami Michelle Ahmad dan Sarah Willis, dua warganegara Amerika Serikat. Rumah yang mereka tempati di perumahan dosen Universitas Syiah Kuala di desa Kopelma Darussalam, Banda Aceh, diberondong orang dengan peluru.
Tempat tinggal John Penny, Kepala Perwakilan Uni Eropa, di Aceh Besar, juga ditembak orang pada 16 November 2009. Saat itu Penny dan istrinya Monica sedang berbincang-bincang di ruang tamu dengan seorang tamu mereka. Tidak ada korban jiwa dalam kejadian itu.
Nasib serupa juga dialami Michelle Ahmad dan Sarah Willis, dua warganegara Amerika Serikat. Rumah yang mereka tempati di perumahan dosen Universitas Syiah Kuala di desa Kopelma Darussalam, Banda Aceh, diberondong orang dengan peluru.
Mereka selamat.
Keduanya merupakan relawan di Lembaga Bahasa Universitas Syiah Kuala.
Apakah para peneror itu berada di balik penembakan tersebut? Polisi belum mengeluarkan penjelasan resmi.
Apakah para peneror itu berada di balik penembakan tersebut? Polisi belum mengeluarkan penjelasan resmi.
NAMUN,
jatuhnya korban sipil dalam pengepungan para peneror mengundang reaksi sejumlah
kalangan di Aceh, termasuk Kontras Aceh (Komisi Orang Hilang dan
Korban Tindak Kekerasan).
Koordinator Kontras Aceh, Hendra Fadli, dalam keterangannya persnya mengatakan bahwa apapun bentuk ancaman keamanan yang muncul, polisi tetap harus berpedoman pada aturan perundang-undangan yang ada. Di antaranya Peraturan Kapolri (Perkab) nomor 1 dan 8 tahun 2009 tentang penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian serta implementasi prinsip dan standar hak asasi manusia dalam penyelenggaraan tugas.
Menurut Hendra, kemajuan dalam memberantas peredaran senjata ilegal di Aceh selama ini, bisa dimanfaatkan polisi untuk mendapat dukungan warga sipil dalam mendeteksi keberadaan orang yang diduga teroris, bukan malah menimbulkan korban sipil.
Koordinator Kontras Aceh, Hendra Fadli, dalam keterangannya persnya mengatakan bahwa apapun bentuk ancaman keamanan yang muncul, polisi tetap harus berpedoman pada aturan perundang-undangan yang ada. Di antaranya Peraturan Kapolri (Perkab) nomor 1 dan 8 tahun 2009 tentang penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian serta implementasi prinsip dan standar hak asasi manusia dalam penyelenggaraan tugas.
Menurut Hendra, kemajuan dalam memberantas peredaran senjata ilegal di Aceh selama ini, bisa dimanfaatkan polisi untuk mendapat dukungan warga sipil dalam mendeteksi keberadaan orang yang diduga teroris, bukan malah menimbulkan korban sipil.
Apa
komentar warga terhadap kelompok teror ini?
“Teroris
yang berasal dari tanah Jawa itu sangat meresahkan masyarakat. Masih saja ada
orang yang ingin merusak perdamaian Aceh,” ujar Syarba kepada saya.
Ia salah satu warga Tungkop, Aceh Besar.
Walaupun
beberapa orang Aceh ikut serta dalam kelompok peneror, otak dan pucuk pimpinan
komplotan tersebut berasal dari Jawa atau luar Aceh. Di masa konflik GAM dan
pemerintah Indonesia dulu, kata “Jawa” dan “bukan
Jawa” bermakna politis. Jawa menjadi simbol dari pusat pemerintahan di
Jawa, bukan semata-mata nama etnis.
Menurut
Syarba, jika ada kelompok yang ingin menjadikan Aceh sebagai basis terorisme
dan menarik simpati masyarakat Aceh dengan embel-embel Islam,
itu adalah perbuatan yang keliru.
“Masyarakat Aceh masih bisa berfikiran jernih, mana pihak yang akan didukung dan tidak didukung. Kehadiran mereka di Aceh sangat mengganggu,” katanya.
“Masyarakat Aceh masih bisa berfikiran jernih, mana pihak yang akan didukung dan tidak didukung. Kehadiran mereka di Aceh sangat mengganggu,” katanya.
Bagi Syarba,
jihad tidak mesti mengangkat senjata membunuh satu dengan yang lain. Apalagi
arah perjuangannya yang belum tentu jelas. Masih banyak jalan yang bisa
ditempuh untuk berjihad, seperti membenahi pendidikan dan ekonomi
masyarakat.
“Itu
kan namanya jihad juga. Jihad atas nama memperbaiki ekonomi dan pendidikan.
Saya rasa itu jauh lebih bermanfaat daripada yang mereka lakukan sekarang,”
ujarnya.
Ia
berharap kelompok itu segera angkat kaki dari Aceh.
“Padahai
Aceh ka na lampu ijoe, jino ka lampu mirah lom, (padahal Aceh sudah mendapat lampu hijau,
sekarang sudah lampu merah lagi),” kata Syarba, memberi tamsil
terhadap kondisi perdamaian Aceh yang mulai terusik.
Popon,
juga warga Tungkop, memperkirakan adanya teroris memungkinkan pemberlakuan
ronda malam di desa-desa di Aceh, seperti di masa konflik dulu.
“Kalau
sudah ada ronda malam, berarti negeri ini mulai tidak aman. Sudah lama setelah
Aceh damai tidak ada jaga malam. Semoga masalah ini cepat selesai dan berakhir
dengan baik,” ujar Popon, yang sehari-hari bekerja sebagai montir.
Di
sekitar pegunungan Jalin, warga desa tetap bebas melakukan kegiatan sehari-hari
mereka. Meski anggota polisi sering berpatroli di desa itu setelah pengepungan.
“Kami
aman-aman saja di sini. Bahkan sebagian masyarakat baru tahu ada pengepungan di
gunung Jalin dua hari kemudian, baca di koran,” tutur Darwis, keuchiek Jalin,
pada saya.
Namun, ia kecewa terhadap media yang berlebih-lebihan memberitakan pengepungan di penggunungan Jalin. Akibatnya desa Jalin yang tentu saja tak sama dengan pegunungan Jalin dikesankan sebagai desa sarang teroris. ***
Namun, ia kecewa terhadap media yang berlebih-lebihan memberitakan pengepungan di penggunungan Jalin. Akibatnya desa Jalin yang tentu saja tak sama dengan pegunungan Jalin dikesankan sebagai desa sarang teroris. ***
0 comments:
Post a Comment
Berikan komentar anda yang membangun....