Tukang Teror Di Aceh

MALAM itu segerombolan laki-laki berbadan tegap menyusuri jalan setapak di pedalaman Aceh Besar. Mereka melangkah hati-hati, mengarungi pekatnya malam. Tiba-tiba suara tembakan memecah kesunyian.

“Tiarap!” teriak seorang dari mereka.

Sontak semua orang menjatuhkan badan ke tanah, sambil mencari tempat berlindung di antara pepohonan dan semak-semak.  Karena panik, seorang dari mereka tak mampu mengendalikan keseimbangan tubuhnya.  Ia jatuh dari bukit, terguling ke tanah, lalu terperosok dalam lubang dangkal.

“Rupanya saya berada dalam kubangan,” kisah Hidayat, lelaki itu, pada saya.

Jantungnya berdetak kencang. Ia terus berusaha merangkak ke tempat kering.  Badannya penuh lumpur. Kejadian malam itu benar-benar tak berpikir olehnya.

Hidayat berusia 30 tahun, berkulit hitam. Badannya tegap, dengan tinggi sekitar 165 sentimeter. Sehari-hari ia bekerja sebagai petani. Sambil menarik asap rokoknya dalam-dalam, ia terus menceritakan pengepunganorang-orang yang kemudian disebut teroris di koran maupun televisi itu. Ia ikut penyergapan pertama di pegunungan Jalin, Jantho, Aceh Besar itu.

Senin, 22 Februari 2010, jarum jam menunjukkan pukul 23.30. Hidayat berada di satu warung di kampungnya di desa Jalin, bersama beberapa warga. Malam itu ia berencana menginap di kebun untuk menjaga hasil kebunnya dari gangguan babi hutan.

Ketika ia sedang asyik berbincang-bincang, seorang pemuda datang menghampirinya dan memberitahukanbahwa keuchiek (kepala desa) memanggilnya karena ada keperluan mendesak dan penting. Hidayat pun langsung beranjak dari tempat duduknya dan pergi ke rumah keuchiek yang tak jauh dari warung itu.

Ia bertanya-tanya dalam hati apa yang membuatnya dipanggil keuchiek. Jawaban itu segera ia dapat begitu tiba di rumah Darwis, keuchiek Jalin.

“Yat, saya mau minta tolong sama kamu untuk membantu anggota Polres (kepolisian resor) ke gunung Jalin. Mereka tidak tahu jalannya,” kata Darwis.

Hidayat sendiri tak tahu alasan Darwis memintanya menemani polisi-polisi itu. Semula Darwis yang akan menemani mereka, tapi  ia lalu menunjuk Hidayat.

Hidayat bahkan tak berani menanyakan apa tujuan anggota polisi ke gunung tersebut dan langsung mengiyakan permintaan kepala desanya. Ia mengira polisi ingin mencari rusa atau ladang ganja.

Hidayat pun pergi ke pegunungan Jalin bersama para polisi bersenjata lengkap. Seingat Hidayat, jumlah polisi malam itu sekitar 30 orang dan lima di antaranya dari kesatuan Brigade Mobil atau Brimob.

Hidayat berjalan di depan sebagai penunjuk jalan. Mereka terus menelusuri jalan setapak dan berbatu dalam gelap. Di tengah perjalanan, seorang polisi memberitahukan tujuan perjalanan mereka malam itu.

“Tahu tidak pak, kenapa kami minta bantu tunjukin jalan?” tanya polisi itu pada Hidayat.

“Tidak Pak,” jawab Hidayat.

“Kami sedang mencari teroris,” kata si polisi.

“Ah bapak becanda. Mana ada teroris di Aceh,” kata Hidayat ketika itu, tak mempercayai apa yang didengarnya.

Namun, polisi itu tidak berkata apa-apa lagi. Merasa tidak mendapat tanggapan lebih jauh, pikiran Hidayat pun mulai melayang ke mana-mana. Ia sempat berpikir, jika apa yang dikatakan polisi itu benar, maka malam itu akan menjadi musibah besar baginya. Mau minta untuk kembali lagi ke desanya, sudah tak mungkin lagi.

Seluruh polisi terlihat makin waspada ketika  mereka mulai melewati semak-semak, rawa dan perbukitan kecil. Sedikit ada suara mencurigakan, langkah pun langsung berhenti.

Tak terasa mereka telah berjalan sejauh tiga kilometer meninggalkan desa Jalin. Di tengah perjalanan, tiba-tiba salah seorang polisi meminta mereka semua berhenti. Handy talkie atau HT yang terselip di pinggangnya berbunyi. Hidayat dan yang lainnya bisa mendengar dengan jelas suara dari alat komunikasi tersebut. Suara itu memerintah seluruh pasukan untuk menghentikan pencarian dan kembali ke desa.

“Mereka (anggota polisi) mendapat telepon dari Polres Aceh Besar, agar segera kembali ke desa karena ada informasi baru,” tutur Hidayat kepada saya.

Hidayat bersama para polisi pun segera berbalik arah, kembali ke desa Jalin. Ketika mereka berjalan turun sekitar 300 meter, mereka dikejutkan dengan suara tembakan dari seberang perbukitan.

Hidayat tidak ingat jumlah tembakan malam itu. Situasi benar-benar tegang dan yang terpikir olehnya waktu itu bagaimana bisa keluar dengan selamat dari sana. Beruntung, anggota polisi tidak naik sampai kegunung Jalin. Selain medan tempuh yang sulit dijangkau dan keterbatasan pasukan, mereka juga sudah diperintahkan untuk kembali ke desa.

“Situasi menegangkan itu tak berlangsung lama. Setelah memastikan keadaan benar-benar aman, kami pun kembali bergerak menuruni perbukitan menuju desa,” ujar Hidayat.

Meski di masa konflik  sudah terbiasa dengan  suara tembakan, namun Hidayat belum pernah terlibat langsung. Tapi malam itu, ia merasa seperti “pelanduk di antara dua gajah yang bertikai.”

Setelah melewati beberapa gundukan bukit dan pekebunan penduduk, akhirnya rombongan tiba di desa. Hidayat melihat jam di tangannya menunjukkan pukul 02.30. Ia langsung membersihkan badannya yang berbalut lumpur. Malam itu seluruh anggota polisi memutuskan menginap di desa Jalin untuk berjaga-jaga.

Desa Jalin  terletak di pedalaman Jantho, Aceh Besar. Jarak tempuh dari Kota Jantho, ibukota Aceh Besar,ke desa ini sekitar  tujuh kilometer dengan kendaraan bermotor. Ketika saya dan seorang teman menuju desa ini,  sepanjang jalan Gapura (jalur masuk dari kota Jantho) begitu sepi.  Hanya satu-dua kendaraan yang melintas. Jalan Gapura berhubungan langsung dengan cagar alam yang berjarak sekitar 18 kilometerdari Kota Jantho. Jalur ini masih bisa dilalui, meski banyak lubang memenuhi jalan.

Namun, jalan ke desa Jalin sulit dilalui kendaraan. Selain tanjakan dan tikungan tajam, badan jalan dipenuhi bebatuan. Tidak ada aspal sepanjang jalan masuk  desa . Perbukitan dengan jurang terjal dan hamparan sawah berada di sisi kiri dan kanan jalan.

Desa Jalin berada di kawasan Pegunungan Jalin. Jarak tempuh dari desa ke pegunungan itu sekitar 10 kilometer. Di situlah disebut-sebut sebagai tempat latihan tempur kelompok yang diduga teroris tadi. Selaindesa Jalin, pegunungan Jalin juga dikelilingi beberapa desa lain, seperti desa Weu, Jantho Lama, Jantho Baru dan Suka Tani.

Pegunungan Jalin adalah batas wilayah kabupaten Aceh Besar dan kabupaten Pidie. Menurut keterangan warga, jalur ke pegunungan tersebut sangat sulit ditempuh dari arah desa Jalin. Sehingga sangat jarang masyarakat yang berani ke sana. Kebanyakan warga yang ingin ke sana, lebih memilih melewati Jalan Gapura.

“Tapi kebanyakan penduduk tidak tahu ada penyerangan malam itu. Kami tetap beraktivitas seperti biasa,” ujar Hidayat lagi.

PAGI harinya, warga Aceh Besar dan Banda Aceh, dikejutkan dengan kabar pengepungan lokasi latihantempur kelompok yang disebut teroris di pegunungan Jalin. Ada yang menyebut kelompok ini terkait dengan Jamaah Islamiyah, kelompok Islam radikal di Indonesia yang anggotanya terlibat bom Bali dan pengeboman hotel Marriot di Jakarta. Kebanyakan korban pengeboman itu warga biasa, yang tengah berlibur dengan keluarga atau pegawai hotel atau kafe. Kelompok ini juga terkenal dengan sikapnya yang anti asing atau anti Barat.


Polisi  menangkap empat orang dalam penyerbuan tersebut.

Kepala Kepolisian Aceh, Inspektur Jenderal Polisi Adityawarman, sebagaimana dikutip situs Acehkita,menyebut keempat orang tersebut ditangkap sekitar pukul 23.30 Wib. Orang-orang ini sebelum dibekuk juga menyerang anggota kepolisian. Kelompok ini, menurut Adityawarman, sengaja memusatkan latihan di Aceh untuk mengelabui aparat dan mengesankan kehadiran mereka itu berkaitan dengan situasi lokal (seolah-olah berkaitan dengan aksi Gerakan Aceh Merdeka atau politik di Aceh pascakonflik).

Empat orang yang ditangkap, yaitu Ismet Hakiki, 40 tahun, warga Pandeglang, Jawa Barat, Yudi Zulfahri, 27 tahun, warga Banda Aceh, Zaki Rahmatullah, 37 tahun, warga Pandeglang dan Masykur Rahmat, 21 tahun, warga Miruk, kecamatan Krueng Barona Jaya, Aceh Besar.

Polisi juga menyita sejumlah barang bukti seperti sangkur, kitab suci Alquran, seragam militer, uang, dan jaket.


Pada 25 Februari 2010, kepolisian Aceh Besar  menggeledah sebuah rumah di Saree dan menemukan sejumlah peluru senjata laras panjang di atas plafon.

Tiga penghuni rumah itu ditahan polisi. Penangkapan ketiganya berdasarkan informasi yang diperoleh polisi dari empat orang yang telah ditangkap sebelumnya di pegunungan Jalin.

Seminggu kemudian, pada 3 Maret 2010, Kepolisian Sektor Padang Tiji, Pidie, juga menembak mati seorang penumpang bus, yang disangka anggota kelompok tersebut.

Bus yang bergerak dari Banda Aceh menuju Medan itu membawa tiga orang penumpang yang naik tak jauh dari lokasi razia. Namun, begitu bus berhenti karena razia, tiga penumpang tersebut panik dan mencoba melarikan diri.

Sehari sesudahnya, kontak senjata antar polisi dan anggota kelompok itu terjadi lagi di Aceh Besar. Kali ini di kawasan hutan Lamkabeu, kecamatan Seulimum, Aceh Besar.

Dalam operasi tersebut, sebelas anggota Brimob luka-luka dan tiga lainnya meninggal dunia.

Dalam  pengepungan di dua lokasi di Aceh Besar, pegunungan Jalin dan hutan Lamkabeu, tiga warga sipil juga ikut jadi korban.


Kamaruddin, 37 tahun, dan anaknya, Suheri, 14 tahun, warga desa Lam Leupueng, kecamatan Kuta Cot Glie, tersambar peluru  saat pengepungan berlangsung.

Kamaruddin meninggal di tempat, sementara Suheri mengalami luka tembak akibat dua peluru menembus kaki dan dadanya. Suheri masih bisa diselamatkan dan mendapat perawatan di Rumah Sakit Bhayangkara Polda Aceh.

Waktu itu ayah dan anak ini tengah mencari ikan  di Kreung Linteung yang berada di kaki pegunungan Jalin. Krueng Linteung terkenal dengan ikan-ikannya, terutama ikan kerling.  Sungai ini juga mengairi sawah wargadi beberapa desa sekitarnya.

Polisi menyatakan bahwa kedua korban merupakan warga biasa dan salah tembak. Adiyawarman juga minta maaf. Bentuk tombak ikan ayah dan anak tersebut yang menyerupai bentuk senjata laras panjang dalam kegelapan itu membuat polisi menembak mereka.

Nasib serupa juga menimpa Nurbahri, lelaki paruh baya warga Meunasah Tunong, Lamkabeue, kecamatan Seulimum. Ia jadi korban di tengah kontak senjata polisi dan kelompok  itu di Lamkabeue.


PADA Jumat, 12 Maret 2010, anggota Kepolisian Sektor Leupung, Aceh Besar  berhasil menggagalkan upaya pelarian 10 anggota kelompok  tersebut. Mereka berencana menuju Calang dengan menyewa angkutan umum jenis L-300.

Kepada sopir angkutan, mereka mengutarakan niat untuk  bekerja sebagai penebang kayu di pantai Barat Aceh. Mereka menyebut lima pucuk senjata laras panjang dalam karung yang mereka bawa sebagai chainsaw, alat pemotong pohon.

Polisi menewaskan dua orang dalam operasi pengepungan itu. Mereka adalah Encang Kurnia alias Jaja alias Umar Yusuf, asal Lampung dan Pura Sudarma alias Muttakin asal Bandung.

Polisi juga menyita dua pucuk senjata jenis AK, tiga senjata jenis M-16, dan satu pistol jenis Glock.

Sejak pengepungan pertama kali dilakukan, polisi menyatakan telah menangkap 14 anggota kelompok bersenjata di Aceh. Jumat,  5 maret 2010, 14 anggota kelompok tersebut diterbangkan ke Jakarta untuk pemeriksaan lebih lanjut.

Menurut Inspektur Jenderal Polisi Edward Aritonang dari Hubungan Masyarakat Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri), sebagaimana dikutip situs detikcom, kelompok  tadi bermaksudmenjadikan Aceh sebagai wilayah Negara Islam Indonesia dan Daulah Islam Asia Tenggara.

Menurut Aritonang, anggota kelompok tersebut juga turun ke desa-desa untuk melakukan pembinaan, agar masyarakat mendukung programnya. Mereka juga mengintai kantor-kantor pemerintah di Aceh, kantor perwakilan Perserikatan Bangsa-Bangsa di Banda Aceh, kantor polisi dan markas tentara. Pasokan senjatauntuk kelompok ini berasal dari pulau Jawa. Jumlah keseluruhan mereka yang ikut latihan tempur di Jalin adalah 71 orang. Sampai tulisan ini diturunkan, polisi sudah menangkap 33 orang dan menembak tujuh orang. Sisanya, 31 orang masih dalam pengejaran.

Di Jakarta, polisi menembak mati Dulmatin, salah seorang pemimpin kelompok tersebut yang terlibat bomBali dan pernah melarikan diri ke Jolo, Filipina Selatan.

Seorang lagi yang ditembak mati adalah Maulana alias Mukhlis alias Ruslan alias Lukman. Ia adalah tersangka percobaan pembunuhan terhadap Mathori Abdul Jalil dari Nahdlatul Ulama (NU) dan mantan menteri pertahanan di masa pemerintahan Megawati Soekarno. Selain itu, polisi juga menembak Abu Hamzah alias Babe alias Reza. Ia ternyata sepupu Shireen Sungkar, salah satu artis sinetron Indonesia.

RABU, 17 Maret 2010, Munir alias Abu Rimba alias Abu Uteun, orang yang masuk daftar pencarian orang yang dikeluarkan Kepolisian Daerah (Polda) Aceh, akhirnya menyerahkan diri. Abu Rimba dicari-cari polisi terkait dugaan keterlibatannya dalam kelompok teror ini. Ia  menyerah setelah dibujuk keluarga dan teman-temannya.

Sehari sebelumnya, Mukhtar Ibrahim alias Mukhtar Al Faruk, yang disebut-sebut sebagai Panglima Tandzim Al Qaeda Serambi Mekkah wilayah Pase, juga menyerahkan diri ke Polres Kota Lhokseumawe dan kemudian dibawa ke Polda Aceh untuk pemeriksaan lebih lanjut.

Mukhtar juga menyerahkan tiga pucuk senjata api jenis Colt dan sepucuk M-16, berikut ratusan peluru untuk pistol dan senjata laras panjang.

Pada saat menyerahkan diri, Mukhtar ditemani gurunya, Teungku Muslim Attahiri, pemimpin Dayah Darul Mujahidin di desa Weu Panjoe, Muara Dua, Lhokseumawe.

Mukhtar disebut-sebut pernah menjadi panglima jihad di Front Pembela Islam (FPI) wilayah Pase. FPI merupakan organisasi yang berbasis di Jakarta dan terlibat dalam konflik antar agama di Ambon dan Poso.Mukhtar pernah mengikuti pelatihan paramiliter yang digelar FPI Aceh untuk diberangkatkan ke Gaza, Palestina, April 2009 lalu. Latihan paramiliter itu dilaksanakan di Dayah Darul Mujahidin.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono segera mengumumkan bahwa kelompok ini tak punya kaitan apapun dengan Gerakan Aceh Merdeka atau GAM.

Sebenarnya aksi kelompok bersenjata bukan baru pertama kali terjadi di Aceh. Pada tahun 2009 saja  ada beberapa kasus kejahatan bersenjata yang sampai saat ini belum terungkap. Seperti penembakan terhadap Kepala Perwakilan Palang Merah Jerman di Aceh,  Erhard Bauer,  pada 5 November 2009.

Erhard ditembak  pria yang mengendarai sepeda motor Yamaha RX King bersama seorang rekannya. Insiden ini terjadi tak jauh dari Rumah Sakit Meuraxa, Lampeuneurut, Aceh Besar. Korban mengalami luka tembak di perut sebelah kiri, dan bagian pangkal lengan kanan.

Tempat tinggal John Penny, Kepala Perwakilan  Uni Eropa, di Aceh Besar, juga ditembak orang pada 16 November 2009. Saat itu Penny dan istrinya Monica sedang berbincang-bincang di ruang tamu dengan seorang tamu mereka. Tidak ada korban jiwa dalam kejadian itu.

Nasib serupa juga dialami Michelle Ahmad dan Sarah Willis, dua warganegara Amerika Serikat. Rumah yang mereka tempati di perumahan dosen Universitas Syiah Kuala di desa Kopelma Darussalam, Banda Aceh, diberondong orang dengan peluru.
Mereka selamat. Keduanya merupakan relawan di Lembaga Bahasa Universitas Syiah Kuala.

Apakah para peneror itu berada di balik penembakan tersebut? Polisi belum mengeluarkan penjelasan resmi.


NAMUN, jatuhnya korban sipil dalam pengepungan para peneror mengundang reaksi sejumlah kalangan di Aceh, termasuk Kontras Aceh (Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan).

Koordinator Kontras Aceh, Hendra Fadli, dalam keterangannya persnya mengatakan bahwa apapun bentuk ancaman keamanan yang muncul, polisi tetap harus berpedoman pada aturan perundang-undangan yang ada. Di antaranya Peraturan Kapolri (Perkab) nomor 1 dan 8 tahun 2009 tentang penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian serta implementasi prinsip dan standar hak asasi manusia dalam penyelenggaraan tugas.

Menurut Hendra, kemajuan dalam memberantas peredaran senjata ilegal di Aceh selama ini, bisa dimanfaatkan polisi untuk mendapat dukungan warga sipil dalam mendeteksi keberadaan orang yang diduga teroris, bukan malah menimbulkan korban sipil.

Apa komentar warga terhadap kelompok teror ini?

“Teroris yang berasal dari tanah Jawa itu sangat meresahkan masyarakat. Masih saja ada orang yang ingin merusak perdamaian Aceh,” ujar Syarba kepada saya. Ia salah satu warga Tungkop, Aceh Besar.

Walaupun beberapa orang Aceh ikut serta dalam kelompok peneror, otak dan pucuk pimpinan komplotan tersebut berasal dari Jawa atau luar Aceh. Di masa konflik GAM dan pemerintah Indonesia dulu, kata “Jawa” dan “bukan Jawa”  bermakna politis. Jawa menjadi simbol dari pusat pemerintahan di Jawa, bukan semata-mata nama etnis.

Menurut Syarba, jika ada kelompok yang ingin menjadikan Aceh sebagai basis terorisme dan menarik simpati masyarakat Aceh dengan embel-embel Islam, itu adalah perbuatan yang keliru.

“Masyarakat Aceh masih bisa berfikiran jernih, mana pihak yang akan didukung dan tidak didukung. Kehadiran mereka di Aceh sangat mengganggu,” katanya.

Bagi Syarba, jihad tidak mesti mengangkat senjata membunuh satu dengan yang lain. Apalagi arah perjuangannya yang belum tentu jelas. Masih banyak jalan yang bisa ditempuh untuk berjihad, seperti membenahi pendidikan dan ekonomi masyarakat.

“Itu kan namanya jihad juga. Jihad atas nama memperbaiki ekonomi dan pendidikan. Saya rasa itu jauh lebih bermanfaat daripada yang mereka lakukan sekarang,” ujarnya.

Ia berharap kelompok itu segera angkat kaki dari Aceh.

“Padahai Aceh ka na lampu ijoe, jino ka lampu mirah lom, (padahal Aceh sudah mendapat lampu hijau, sekarang sudah lampu merah lagi),” kata Syarba, memberi tamsil terhadap kondisi perdamaian Aceh yang mulai terusik.

Popon, juga warga Tungkop, memperkirakan adanya teroris memungkinkan pemberlakuan ronda malam di desa-desa di Aceh, seperti di masa konflik dulu.

“Kalau sudah ada ronda malam, berarti negeri ini mulai tidak aman. Sudah lama setelah Aceh damai tidak ada jaga malam. Semoga masalah ini cepat selesai dan berakhir dengan baik,” ujar Popon, yang sehari-hari bekerja sebagai montir.

Di sekitar pegunungan Jalin, warga desa tetap bebas melakukan kegiatan sehari-hari mereka. Meski anggota polisi sering berpatroli di desa itu setelah pengepungan.

“Kami aman-aman saja di sini. Bahkan sebagian masyarakat baru tahu ada pengepungan di gunung Jalin dua hari kemudian, baca di koran,” tutur Darwis, keuchiek Jalin, pada saya.

Namun, ia kecewa terhadap media yang berlebih-lebihan memberitakan pengepungan di penggunungan Jalin. Akibatnya desa Jalin yang tentu saja tak sama dengan pegunungan Jalin dikesankan sebagai desa sarang teroris. *** 

0 comments:

Post a Comment

Berikan komentar anda yang membangun....

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls