Mutu pendidikan Aceh sampai saat ini belum menunjukkan hasil memuaskan. Bahkan jauh dari harapan. Secara nasional posisinya terendah ke dua setelah Provinsi Papua.
Berbagai pihak di lingkungan Pemerintah Aceh pun saling lempar batu.Sistem yang dibuat pemerintah berkaitan dengan Ujian Akhir Nasional (UAN) merupakan penyamarataan standar pendidikan tingkat nasional.
Hal itu bagus, untuk menentukan peringkat pendidikan Indonesia, apakah berada ditingkat menengah atau tinggi. Standar yang dibuat secara nasional merupakan hasil olah pikir para pakar-pakar yang sama untuk semua daerah.
“Kalau hal itu bisa dipenuhi, sudah bagus. Itu jangkauan-jangkauan pendidikan,” Rektor IAIN Ar-Raniry, Farid Wajdi.
Namun, kata Farid, dari tahun ke tahun, selalu ada masalah, peserta didik tidak bisa menjangkau standar yang telah ditetapkan. Kemampuan satu daerah dengan daerah lain menjadi penentu besar untuk memenuhi hal tersebut.
“Di situlah muncul masalah, karena kemampuan satu daerah dengan daerah lain itu berbeda. Sebenarnya itu masalah lokal atau daerah tertentu, bukan masalah nasional. Tapi bukan berarti untuk daerah-daerah tertentu harus direndahkan standarnya, karena itu juga bisa jadi masalah nanti,” ujarnya.
Ia menilai, terjadinya pro-kontra terhadap pelaksanaan sistem UAN, disebabkan banyak peserta didik yang stres, karena dia menjadi standar. Padahal yang tidak lulus, belum tentu anak bodoh. Tapi karena UAN itu menjadi standar, aktivitas murid sehari-hari dia di sekolah, baik itu pekerjaan rumah, kedisipilinan, mautan lokal dan sebagainya, tidak dinilai lagi. Hanya standar UAN saja, ini dianggap merugikan murid.
“Karena UAN itu pun hanya memuat beberapa mata pelajaran saja, sedangkan murid ada kemampuan lain yang luput dari penilaian. Penilai terhadap murid tidak hanya koknitif (intelektual) saja, tapi sikap. Perobahan sikap tidak ternilai lewat UAN. Pengalaman hari-hari dia, itu tidak dinilai, tapi yang dinilai hanya intelektual dia pada saat menjawab ujian,” terang Farid.
Selain itu, murid yang tidak lulus pada tahap pertama, bisa mengikuti tahap kedua, dengan aturan berbeda, yang disebut paket C.
“Di situ ada ketentuan yang tidak lulus tahap pertama, dia tidak boleh melanjutkan pendidikan. Ini ketentuan-ketentuan yang merendahkan dia. Itulah yang banyak muncul masalah hingga disorot.”
Namun dari sisi positif, UAN memberikan memberi peluang bagi peserta didik untuk terus memacu diri agar menjadi yang terbaik dengan memenuhi standar.
“Kalau pun anak-anak yang tidak lewat tahun ini, dia bisa terus dipacu lagi, hingga dua atau tiga tahun akan tercapai target itu. Walaupun tahun ini sebagian, tahun depan sebagian, pasti semua akan mengejar itu. Jika tiga tahun ke depan sudah bisa dikejar standar tingkat nasional, berarti di situlah sudah tinggi mutunya. Kualitasnya sudah bagus, anak mau bersaing,” kata Farid.
Jika masyarakat berpikir UAN itu memberatkan, hanya cocok untuk daerah-daerah tertentu saja atau UAN tak perlu diterapkan lagi, maka akan kembali pada pendidikan masa lalu. Akhirnya, standar yang diambil sesuai dengan standar daerah masing-masing.
“Jika kualitas daerahnya rendah, maka rendahlah mutu pendidikan. Jadi tidak ada keinginan untuk menunjukkan yang lebih bagus. Sehingga pada saat anak-anak kita di sini nilai A semua, pada persaingan untuk memperebutkan jurusan-jurusan tingkat nasional, anak-anak kita kalah saing. Ini masalah,”
Menurut Farid, sebuah sistem yang baru, memang selalu terkesan dipaksakan. Padahal yang diubah cuma sedikit. Tapi intinya tetap, soal-soal ujian hampir seperti dulu. “Jadi tidak ada salahnya untuk diikuti dulu.”
Ia yakin Aceh mampu mencapai mutu pendidikan lebih tinggi sesuai target yang telah ditentukan. Tapi semua itu butuh proses dan waktu yang tak mungkin instan.
“Jadi kalau kita bilang dipaksakan, siapa yang maksa, katakanlah menteri pendidikan dulu, tapi sekarang menterinya sudah berganti, yang latarbelakangnya akademik bukan orang politik,” ungkapnya.
Adanya suatu standar yang dibuat untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia merupakan satu hal membanggakan. Jika hari ini masyarakat mempermasalahkan dukungan penuh dari pemerintah, maka hal tersebut harus dipenuhi. Namun semua juga sangat tergantung pada lembaga pendidikan itu sendiri. “Itu yang kita tuntut, bukan pada menurunkan standar pendidikan.”
“Seperti IAIN di bawah Departemen Agama ini, dana sangat sedikit. Tapi di satu sisi kami dipacu tidak boleh rendah dari yang lainnya, harus melebihi malah. Padahal dana sangat sedikit dibanding lembaga yang berada di bawah dinas. Tapi karena itu keinginan kita untuk maju, untuk menyamai bahkan melebihi orang lain, semuanya bisa tercapai dengan baik. Semua itu sangat tergantung pada kita.”
Ia melanjutkan, jika hari ini ada guru yang masih menganut pola pendidikan lama, kemampuannya masih rendah, maka perhatian harus menyekolahkan lagi. Diberi pendidikan yang bisa mengolah UAN dengan bagus, bisa memahaminya juga mengikutinya. Begitu juga dengan fasilitas sekolah harus bisa dikembangkan berstandar nasional maupun internasional. Seperti beberapa sekolah yang saat ini dibina pemerintah.
“Tapi itu harus terus meningkat, tahun ini sepuluh sekolah dibina seperti itu misalnya, tahun depan sepuluh, sehingga dalam jangka waktu lima atau sepuluh tahun ke depan, semua sekolah di Aceh memiliki standar yang sama, baik nasional maupun internasional,”
Kata Farid, dalam masalah standar pendidikan, masyarakat kita tidak bisa menyalahkan pemerintah atau pun lainnya. Karena memang keinginan bangsa ini untuk memajukan pendidikan agar lebih baik dari masa lalu. Masyarakat harus bisa membandingkan pendidikan dengan masa lalu, untuk melangkah ke arah lebih baik. Selain itu, juga harus membandingkan dengan negara lain.
“Inilah yang paling mudah kita cocokkan, belajar dari masa lalu dan membandingkan kita dengan negara lain, itu pada tingkat nasional. Pada tingkat provinsi, membandingkan dengan provinsi lain, kabupaten/kota membandingkan dengan kabupaten/kota yang lain. Mudah sekali itu untuk menjadikan tempat bercermin,” katanya.
Ia menilai untuk permasalahan Aceh, ada beberapa hal yang menghambat mutu pendidikan dengan dana yang banyak, namun hasilnya belum tercapai. Pengembangan pendidikan di Aceh hari ini lebih diutamakan pada pembagunan fisiknya. Gedung-gedung mewah dan besar-besar. Padahal hasil pendidikan tidak ditentukan oleh kualitas gedung.
“Satu yang perlu diingat, pendidikan itu bukan seperti membeli makanan, setelah kita makan selesai. Tidak juga seperti menanam pohon, setelah ditanam, tumbuh, selesai. Sekarang diprogramkan, prosesnya berjangka. Perubahan kecil dari tahun ke tahun sampai sepuluh tahun. Misalnya menyekolahkan kembali tenaga-tenaga pendidik, dengan dana triliun, itu harus ditargetkan tiga tahun selesai atau empat tahun untuk gelar doktor.
Kemudian untuk tingkat sekolah SMA, pemberian biaya pendidikan, fasilitas-fasilitas sempurna disediakan, jika itu ada, maka tugas pemerintah selesai. Hasilnya kapan kita lihat, tiga sampai lima tahun ke depan.”
Namun hal terpenting lagi adalah proticel weel dari pemerintah provinsi ke kabupaten/kota, yang tidak tahu tugas-tugas di bidang pendidikan. Sehingga penempatan pejabat-pejabat pada bidang-bidang pendidikan lebih bersifat politik, orang-orang yang ikut membantu pada saat kampanye dulu, bukan ahli pendidikan.
“Kalau tingkat provinsi saja Kepala Dinas Pendidikannya diisi oleh orang tidak tahu masalah pendidikan, lebih-lebih lagi di kabupaten/kota,” ucap Farid.
Menurut Farid, hal utama yang harus dilakukan pemerintah untuk memajukan pendidikan di Aceh adalah mengalokasikan dana tetap. Penanganan perguruan tinggi yang prefesional setelah dibantu oleh pihak luar, baik dari pembangunan maupun penyediaan fasilitas. Lembaga-lembaga pendidikan harus diberi wewenang penuh untuk memantau pendidikan di Aceh, mulai dari komite-komite sampai perguruan tinggi secara terus menerus.
“Keterlibatan pihak-pihak terkait dalam hal ini sangat efektif, baik itu dalam struktural kecil maupun besar,” sebutnya.
Dinas Pendidikan Aceh menuai kritikan tajam karena belum mampu mengangkat nama Aceh di bidang pendidikan. Pihak Legislatif menuding Dinas Pendidikan tak serius menangani masalah pendidikan di Aceh, sibuk mengurus proyek.
Ketua DPR Aceh, Hasbi Abdullah berpendapat, keterlibatan Dinas Pendidikan dalam mengurus proyek menyangkut pembangunan pendidikan selama ini, membuat dinas tersebut tak fokus pada tugas utamanya, yaitu meningkatkan mutu pendidikan.
“Kita meminta Dinas Pendidikan sekarang hanya fokus pada meningkatkan mutu pendidikan. Urusan proyek, serahkan kembali kepada Dinas Bina Marga,” kata Hasbi kepada wartawan, di Banda Aceh.
Untuk mewujudkan hal tersebut, DPR Aceh akan melakukan pembahasan kembali. Walau secara informal sudah didiskusikan.
Menurut Hasbi, Dinas Bina Marga lebih tepat mengurus segala proyek, karena fokus mereka lebih pada pembangunan fisik dan infrasruktur daerah. Sementara Dinas Pendidikan, tugas utamanya meningkatkan mutu pendidikan dan pembangunan moral masyarakat.
“Dalam RAPBA 2010 untuk pendidikan Rp 945 milyar. Dari jumlah ini banyak untuk pembangunan gedung. Tadi pagi saya sudah berbicara dengan Pak Wagub bahwa pembangunan gedung diserahkan pada Dinas Bina Marga dan Cipta Karya (BMCK),” ujar Hasbi.
Hal yang sama juga diutarakan Wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar, Diknas hanya boleh untuk pengadaan peralatan komputer dan buku paket sedangkan proyek fisik berupa gedung sekolah ke Dinas BM/CK. Ia menilai, merosotnya kualitas pendidikan akibat Diknas mengurus proyek fisik.
“Tidak boleh lagi oknum pejabat baik di kabupaten/kota dan provinsi yang memiliki perusahaan dan mengambil proyek di dinas,” ungkapnya. Ia mensinyalir ada pejabat di dinas memiliki perusahaan untuk mengambil proyek di instansinya.
Selain itu, sulitnya meningkatkan mutu pendidikan Aceh selama ini karena minimnya peran orangtua. Banyak orang tua di Aceh menganggap urusan pendidikan adalah urusan guru. Ketika anaknya sudah sekolah, itu sudah dinilai tanggungjawab guru.
Muhammad Nazar mengatakan, bangunan atau fasilitas sekolah di Aceh, yang sudah lumayan dibanding provinsi lain di Indonesia, sangat mendukung untuk meningkatkan mutu pendidikan. Namun, minimnya peran orangtua, khususnya dalam membentuk moral anak masih menjadi kendala. Di samping masih banyak guru yang kurang berkualitas di Aceh.
“Sekolah yang ada peran orangtua secara langsung mengawasi peserta didik, terbukti lebih manjur,” kata Nazar.
Ia mencontohkan sekolah unggul di Aceh, seperti SMA Modal Bangsa, Fatih Bilingual School, Aceh Besar, SMA Fajar Harapan, Banda Aceh, dan lainnya.
Baru-baru ini, untuk meningkatkan mutu pendidikan dasar di Aceh, Pemerintah Aceh bekerjasama dengan USAID telah meluncurkan program USAID-DBE 2. Kerjasama ini ditandai dengan penekenan MoU terkait program itu yang dilakukan Pimpinan USAID-DBE 2 Michael Calvano dan Wagub Aceh Muhammad Nazar. Penekenan itu bertujuan menyepakati kerangka acuan kerja umum DBE 2.
Program ini diluncurkan untuk sembilan daerah yakni, Pidie Jaya, Lhokseumawe, Aceh Utara, Aceh Timur, Bener Meriah, Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya dan Aceh Barat Daya. Diprediksi, ada 32.130 murid sekolah dasar/sederajat dan 2.232 guru penerima manfaat. Dimulai sejak Juni 2006, dan telah melatih 2.673 guru berikut 27.943 siswa di Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie, Bireun dan Aceh Tengah.[]
0 comments:
Post a Comment
Berikan komentar anda yang membangun....