Menunggu Gambar Turun

Pembangunan kampus baru IAIN Ar-Raniry yang dijadwalkan dimulai Januari 2010 belum bisa dilaksanakan, kerena desain gambar yang diajukan tim pembangunan IAIN belum mendapat jawaban dari lembaga donor. 

Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar-Raniry, Darussalam Banda Aceh terus berusaha membenah situasi kampus secara keseluruhan, untuk memajukan perguruan tinggi ini. Berbagai cara telah ditempuh, termasuk dengan melobi pemerintah pusat agar menggelontorkan sebagian dana untuk kampus jantong hate masyarakat Aceh ini.


Banyak pihak menilai, tata ruang kampus tersebut berbeda dengan sejumlah kampus lain di Indonesia. Di lingkungan kampus dipenuhi sejumlah bangunan perumahan warga yang seharusnya tak berada di lingkungan tersebut. Tentu situasi demikian harus diubah agar kampus ini terus mengalami kemajuan.

Namun keinginan pihak kampus belum tercapai. Ketika gedung dalam proses pembangunan, bencana tsunami datang melanda Aceh. Rencana tersebut pun terpaksa tertunda. Akhirnya, proposal bantuan dilanjutkan setelah tsunami. Namun, karena saat itu ada Keppres yang menyatakan bahwa semua bantuan yang masuk dari luar negeri harus melalui BRR, maka jatah untuk IAIN pun terpaksa dikucur melalui Badan Rehab setingkat Kementerian Negara itu. Sebelumnya, kampus ini juga telah memperoleh bantuan dari BRR dalam bentuk beasiswa, pembangunan 50 unit perumahan, rehab gedung pustaka, auditorium, dan bantuan pembangunan satu unit gedung pascasarjana yang didanai Pemerintah Jepang.


Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar-Raniry resmi berdiri pada tanggal 5 Oktober 1963. Dalam sejarah berdiri IAIN di Indoensia, IAIN Ar-Raniry berdiri setelah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


Sebelum resmi bediri, lembaga pendidikan islam ini lebih dulu berdiri Fakultas Syariah, tahun 1960 dan Fakultas Tarbiyah tahun 1962 sebagai cabang dari IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Kemudian pada tahun 1962 telah didirikan pula Fakultas Ushuluddin, sebagai fakultas ketiga di Banda Aceh dengan status swasta.


Setelah beberapa tahun menjadi cabang dari IAIN Yogyakarta, tahun 1963 fakultas-fakultas tersebut beraffeliasi ke IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sekitar enam bulan dengan kedudukan demikian, barulah IAIN Ar-Raniry diresmikan pada tanggal 5 Oktober 1963.


Dengan demikian, ketika diresmikan IAIN Ar-Raniry telah memiliki tiga fakultas, yaitu Fakultas Syariah, Tarbiyah dan Ushuluddin. Kemudian dalam derap majunya, IAIN Ar-Raniry menjadi lebih lengkap dengan bertambahnya dua fakultas baru, yaitu Fakultas Dakwah yang diresmikan pada tahun 1968 dan Fakultas Adab pada tahun 1983.


Sebutan IAIN Ar-Raniry, dinisbahkan kepada ujung nama seorang ulama besar dan mufti kerajaan Aceh Darussalam yang sangat berpengaruh pada masa Sultan Iskandar Tsani. Nama lengkap ulama tersebut, Syeikh Nuruddin Ar-Raniry yang berasal dari Ranir (sekarang Rander) di India dan telah memberikan sumbangan besar dalam meramaikan bursa percaturan pemikiran islam di nusantara, Aceh khususnya.


Dalam historisnya, sejak berdiri, IAIN Ar-Raniry sebagai lembaga pendidikan tinggi islam, telah menunjukkan peran dan signifikansinya yang strategis bagi pembangunan dan perkembangan masyarakat. Alumninya telah tersebar pada hampir seluruh instansi pemerintah dan swasta. Tidaklah berlebihan untuk disebut kalau lembaga ini telah menjadi jantoeng hate rakyat Aceh.


Sampai saat ini, IAIN Ar-Raniry terus melakukan pembenahan, pengembangan dan penyempurnaan sistem pembelajarannya. Dan peningkatan kualitas pendidikan dengan membuka sejumlah jurusan-jurusan baru yang sesuai dengan kebutuhan pasar atau masyarakat.


Hal lainnya yang tak kalah penting adalah adanya sebuah kesepakatan atau Memorandum of Understanding (MoU) dengan sejumlah lembaga pemerintah dan swasta, baik dalam maupun luar negeri. Dengan MoU ini, telah membuka prospek dan beasiswa, baik bagi mahasiswa yang masih aktif maupun yang sudah alumni untuk melanjutkan studi ke jenjang selanjutnya. Hal tersebut dimaksud bisa mempercepat penambahan jumlah staf pengajar lembaga ini yang berijazah S2 dan S3 di semua disiplin ilmu yang ada.


Kini Islamic Development Bank (IDB) siap mengucurkan dananya untuk membantu pembangunan IAIN. Bank yang bermarkas di Jeddah, Saudi Arabia, itu siap membantu dengan bunga pinjaman super lunak. Sedangkan pembayarannya ditanggung dari APBN terhitung lima tahun ke depan sejak beroperasinya kampus baru. Sebelumnya, direncanakan, awal Januari 2010 pembangunannya sudah dimulai.


Meski proses pembangunan IAIN telah mencapai tahap verifikasi rekanan yang akan melakukan pembangunan dan sudah bisa dilakukan proses tender, namun pihak rektorat belum berani mengambil tindakan lebih jauh. Hal ini untuk mengantisipasi kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi. Baik dari bentuk bangunan, kualitas, penataan ruang kampus dan lainnya.


“Sebenarnya sudah bisa dilakukan tender, tapi kita tidak berani karena gambar bangunan belum dikirim dari Jeddah, sesuai dengan pengajuan tim pembangunan IAIN,” ungkap Rektor IAIN Ar-Raniry, Farid Wajdi di ruang kerjanya.


Sebagaimana yang telah ditetapkan, pembangunan kampus baru di areal 32 hektare itu sebagiannya direhab, renovasi, dan bangun baru. Dalam paket proyek itu juga termasuk pembangunan asrama mahasiswa (putra/putri), dan rumah dinas pejabat IAIN Ar-Raniry, dengan nilai kontrak Rp 360 miliar.


“Seperti pemanfaatan tanah kosong bekas bangunan museum Safwan Idris, di sana akan dibangun gedung Terbiyah baru,” ujar Farid.


Farid Wajdi mengatakan, terhambatnya proses pembangunan IAIN disebabkan karena tersendatnya proses di Jeddah, tempat IDB berpusat. Baik secara administrasi maupun masalah pencairan uang. Ia memaklumi keterlambatan dari pihak IDB, karena lembaga tersebut juga menangani masalah yang sama hampir di seluruh dunia. “Tapi stafnya sedikit, jadi agak sedikit terlambat ketika diproses, baik secara administrasi maupun keuangan,”kata Farid.


Selama pelaksanaan proyek, proses perkuliahan akan terus berlangsung dengan menempati gedung-gedung di luar IAIN yang telah ditentukan. Pihak rektorat telah memanggil unit-unit kerja dari tiap fakultas untuk menyiapkan tempat pemindahan sementara selama dua tahun. Tempatnya tersebar di beberapa lokasi yang telah ditentukan. Ada yang menggunakan pertokoaan dan gedung sekolah yang berada di Banda Aceh dan Aceh Besar. Sementara aktifitas Biro Rektor dipusatkan di Gedung Pasca Sarjana IAIN.


Untuk biaya pemindahan tempat kuliah tersebut, telah dianggarkan 100-300 juta per fakultas, sesuai dengan lokasi pemindahan.


Farid memperkirakan, Februari mendatang tempat perkuliahan sudah dipindahkan. Tapi semua itu tidak bisa dipastikan, keputusannya ada sama IDB. Ia yakin, pembangunan IAIN tersebut akan terlaksana, karena mengingat begitu banyak dana yang telah dihabiskan.


Proses tender bagi perusahaan yang memiliki kualifikasi yang sesuai akan dilakukan di Jakarta setelah pra-kualifikasi. Konsultan Perencana dalam proyek ini adalah PT Andalan Mitra Wahana, sementara PT Kogas akan bertindak selaku Konsultan Pengawas.


Dari 13 perusahaan yang lolos kualifikasi, hanya empat lembaga yang dinyatakan lulus verifikasi oleh pihak IDB. Keempat lembaga tersebut, PT. Pembangunan Perumahan (PP), Waskita Karya, Wajya Karya dan Adhi Karya, kini tengah mempersiapkan segala berkas untuk tender. Ketika proses tender berlangsung, IDB akan menyeleksi kembali untuk menentukan satu lembaga yang akan menjalankan proyek tersebut.


Menurut Direktur Proyek, Jamaluddin Idris, proyek ini menelan biaya sekitar Rp 217 miliar. Adapun pekerjaan yang akan dilakukan adalah merehab beberapa gedung dan pembangunan gedung baru untuk Fakultas Syariah, Fakultas Adab, Fakultas Tarbiyah, gedung mahasiswa, dan asrama mahasiswa. Beragam fasilitas lain juga akan dibangun.


Selain itu, juga akan dibangun 12 rumah jabatan, tempat pameran, gedung mahasiswa di atas lahan seluas 2.000 meter persegi dan gedung serbaguna. Gedung ini akan punya 15 space yang diperuntukkan bagi masing-masing fakultas. “Di sekitarnya juga akan dibangun kantor rektor sehingga situasi kampus benar-benar berubah menjadi lokasi akademis,” kata Jamaluddin Idris.


Berdasarkan site plan sementara, sejumlah bangunan akan disertai kajian kelayakan lingkungan termasuk sistem drainase. Jika proyek yang dijadwalkan rampung pada 10 Agustus 2011 ini terealisasi, fasilitas fisik di kampus IAIN Ar-Raniry diperkirakan akan lebih bagus dibandingkan universitas mana pun di Serambi Mekkah ini.


Menurut Kepala Perwakilan IDB Indonesia, Charmeida Tjokrosuwarno, pembiayaan proyek pengembangan IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, menggunakan akad murabahah dengan margin 3,825 persen per tahun setelah rabat 15 persen. Sebabnya, proyek pengembangan tersebut masuk dalam skema penanganan pasca Tsunami. “Jadi, untuk proyek Ar-Raniry Aceh kita memakai murabahah juga. Tapi, dengan margin yang cukup rendah,” katanya sebagaimana dikutip dari republika.com.


Menurut Charmeida, proyek pembangunan IAIN Ar-Raniry memiliki waktu pengerjaan maksimal tiga tahun. Sedangkan, jangka waktu pengembalian dana pembiayaan dari pemerintah Indonesia kepada IDB maksimal 20 tahun. “Ini sama dengan proyek-proyek pembangunan infrastruktur lain sebelumnya yang dibiayai IDB,” ungkapnya.



Terbentur SK Menteri


Adanya pembangunan gedung baru IAIN Ar-Raniry, semakin membuka peluang perubahan status kampus tersebut menjadi UIN.


Rektor IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, Farid Wajdi, mengemukakan pengembangan perguruan tinggi negeri itu ke depan selain penguatan internal juga menjalankan mandat kelembagaan dan keilmuan dengan mengubah status menjadi Universitas Islam Negeri (UIN).


“Sudah menjadi tekad kita, dalam waktu satu atau dua tahun ke depan, status Institut Agama Islam Negeri (IAIN) berubah menjadi UIN menyusul IAIN lainnya di tanah air,” ungkap Farid.


Tujuan utama pengubahan lembaga itu adalah mengislamkan (Islamisasi) ilmu-ilmu yang selama ini dikenal dengan ilmu umum dan mengintegrasikan ke dalam ilmu yang integral, sehingga sarjana IAIN menguasai keilmuan Islam yang integral sebagaimana halnya para filosofi muslim dahulu.


Perubahan IAIN ke UIN merupakan tuntutan zaman, yaitu dengan adanya integrasi antara ilmu dan agama sekaligus menghindari dikotomi ilmu pengetahuan antara ilmu umum dengan ilmu-ilmu keislaman. Inilah yang dilakukan Ibnu Sina Al Farabi dan Ibnu Rusyd yang menguasai ilmu syariah, filsafat, dan kedokteran.


“Kita merasa yang diperlukan umat di zaman sekarang ini bukan hanya sarjana-sarjana yang mengetahui ilmu agama saja, tetapi ilmu umum,” katanya.


Menurutnya, hanya dengan mengubah institut menjadi universitas yang memungkinkan dibukanya jurusan umum, seperti jurusan ekonomi di Fakultas Syariah, jurusan psikologi di Fakultas Tarbiyah, jurusan politik di Fakultas Ushuluddin, dan juga Fakultas Kedokteran, Sains Teknologi, dan MIPA. Dasar filosofi pengembangan UIN tetap menjadikan kajian Agama Islam sebagai dasar pengembangan ilmu, sehingga berbeda dengan perkembangan ilmu sekuler di barat.


Ia menjelaskan, saat ini ada enam dari 18 IAIN di Indonesia yang sudah berubah statusnya menjadi universitas, meski masih banyak pro dan kontra terkait dengan perubahan tersebut. Namun, dalam rangka pengembangan pada lembaga ini, pihaknya berharap ada dukungan dari semua pihak.


IAIN Ar-Raniry sebagai lembaga pendidikan tinggi Islam telah menunjukkan peran dan signifikansinya yang strategis bagi pembangunan dan perkembangan masyarakat.


Alumninya yang sudah merata pada hampir seluruh instansi pemerintah dan swasta, termasuk di luar Aceh, bahkan di luar negeri. IAIN Ar-Raniry saat ini memiliki 17 orang guru besar yang aktif, 36 orang doktor. “Insya Allah dua tahun ke depan doktor dan profesor kita akan menjadi dua kali lipat dari sekarang,” tuturnya.


Sebagian besar mereka mendapat gelar doktor di dalam negeri dan lainnya di luar negeri. Lembaga ini memiliki mahasiswa di atas 7.000 orang yang didukung oleh 600 lebih dosen dan karyawan.


“Dan alhamdulillah, SDM kita sudah lumayan, walaupun masih minim jika dibandingkan dengan kampus lain di Indonesia. Tapi dibanding tahun-tahun sebelumnya, ini merupakan satu kemajuan,”


Selain itu, pembukaan fakultas dan jurusan baru nantinya juga harus sesuai dengan kebutuhan pasar. Pihaknya akan melakukan kerjasama dan membangun komunikasi lebih baik lagi dengan semua pihak untuk memajukan IAIN melalui semua prodi yang ada.


Namun, menurut Farid Farid Wajdi, pengembangan IAIN menjadi UIN hingga saat ini masih terbentur dengan SK Edaran dari Menteri Agama RI tahun 2007 tentang larangan mengubah status. Sehingga perubahan status harus ditunda sampai batas waktu tak pasti, karena harus mendapat ijin dari menteri agama dan menteri pendidikan nasional.


“Selain itu kita bersama beberapa orang rektor juga sedang berkoordinasi untuk meminta menteri mencabut SK tersebut,” ujarnya.


Isu perubahan status tersebut sudah bergulir sejak (Alm) Safwan Idris menjabat sebagai rektor IAIN. Namun belum sempat direlisasikan. Pada masa Rusdy Ali Muhammad, isu tersebut tak mendapat tanggapan. Ketika Yusni Saby menjabat rektor, masalah ini kembali ditagih oleh mahasiswa karena hal tersebut tercantum dalam visi dan misinya ketika ia mencalonkan diri sebagai rektor IAIN.


Proses ini dapat dilihat dari penyusunan tim yang terdiri dari berbagai unsur berjumlah 50 orang, dengan SK dari rektor IAIN Ar-Raniry. Panitia berasal dari Rektorat, Dekan dan sejumlah guru besar yang bertindak sebagai tim ahli dari kelima Fakultas, yaitu Syariah, Tarbiyah, Dakwah, Adab dan Ushuluddin. Kemudian ada panitia pelaksana yang terdiri dari ketua, sekretaris, dan anggota.


Panitia yang sudah dibentuk akan melakukan berbagai kegiatan yang mendukung perubahan IAIN, seperti training, pelatihan, penerbitan, study komparatif, dan publikasi. Mereka juga mengadakan pertemuan, jajak pendapat mengenai penting tidaknya perubahan statu IAIN.


Dari hasil pertemuan pertama setelah tim dibentuk, 99 persen menyatakan IAIN memerlukan perubahan status. Sedangkan sisanya beranggapan yang perlu diubah adalah managemennya, kemudian baru perubahan status.


“Perubahan ini adalah tuntutan dunia pendidikan, untuk kemajuan sumber daya manusia yang lebih baik di masa yang akan datang,” ujar Zainuddin T, mantan ketua panitia badan persiapan perubahan IAIN.
Menurutnya, ada tiga kategori mendasar yang menjadi pertimbangan lembaga, yaitu penyusunan, pengembangan, dan dukungan untuk kelancaran perubahan status IAIN menjadi Universitas Islam Negeri (UIN). Hal yang harus dilakukan untuk menuju perubahan adalah pengajuan legitimasi hukum, legitimasi akademis, dengan melakukan diskusi berkelanjutan. Dan legitimasi secara politik dan sosial. Makanya juga diundang sejumlah tokoh dan ulama dalam jajak pendapat perubahan IAIN karena mereka juga punya peran dalam berdirinya IAIN sebagai lembaga pendidikan agama.


“Semuanya dimulai dari dalam kampus sendiri, kemudian melalui proses panjang untuk mndapatkan perubahan. kemudian Pemerintah Daerah (PEMDA), Gubenur, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Mentri agama, ke Menpan, terakhir presiden untuk dikeluarkan SK,” Jelasnya.


Pada pertemuan tahap kedua, dilakukan sejumlah langkah untuk meyongsong perubahan, yaitu Penyamaan visi dan misi dari seuruh jajaran IAIN, Pendataan terhadap bangunan fisik, Pendataan ulang terhadap tenaga dosen, serta perubahan Sistem birokrasi yang sesuai dengan standar sebuah Universitas.


“Karena sebuah universitas punya syarat perubahan yang harus diperhatikan, secara fisik cukup untuk kebutuhan fakultas yang akan dirancang, serta mempunyai dua atau tiga guru besar disetiap Fakultas. Serta kemampuan managerial yang memadai sesuai standar Universitas,” ungkap Zainuddin yang juga dosen Fakultas Dakwah ini.


Sementara Sekretaris Panitia Perubahan Status IAIN, Jasafat mengatakan, saat ini pihaknya tengah mempersiapkan segala sesuatu untuk mempercepat proses perubahan status IAIN jadi UIN.


“Saat ini masih dalam proses pembentukan fakultas-fakultas baru,” ungkap Jasafat. Fakultas-fakultas yang akan dibuka tersebut di antaranya, Fakultas Ekonomi Islam, Teknik dan Psikologi Islam.


Ketika ditanya apakah ada perubahan dari acuan yang disusun tim sebelumnya, ia mengatakan belum bisa dipastikan, karena tim baru tersebut tidak memiliki panduan berkenaan dengan apa yang telah dilakukan tim sebelumnya.


“Begitu juga dengan kendala, kami belum bisa mengatakan ada kendala apa tidak, karena kami baru dibentuk menggantikan tim sebelumnya,” kata Jasafat.


Saat ini tim baru ini tengah mengatur audiensi dengan pemerintah Aceh untuk membicarakan masalah tersebut. Namun secara dalam pertemuan non-formal yang telah dilakukan, pemerintah Aceh menyambut baik keinginan perubahan status IAIN jadi UIN. []

0 comments:

Post a Comment

Berikan komentar anda yang membangun....

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls