Three Cups of Tea

"…(di Pakistan dan Afghanistan), kami minum tiga cangkir teh saat membicarakan bisnis; pada cangkir pertama engkau masih orang asing; cangkir kedua engkau teman; dan pada cangkir ketiga engkau bergabung dengan keluarga kami. Sebuah keluarga yang siap berbuat apapun—bahkan untuk mati."

Itulah kutipan yang mengawali buku Three Cups of Tea. Buku ini adalah kisah perjuangan Greg Mortenson, seorang pendaki yang gagal menaklukan puncak K2, gunung tertinggi kedua di dunia.

"Tiga Cangkir Teh" berisi cerita inspiratif, penuh pesan perdamaian dan relevan dibaca di tengah kisruh politik-militer Amerika di Afghanistan.

Greg Mortenson, seorang pendaki gunung Himalaya yang berubah jadi aktivis sosial, dan ditulis seperti novel oleh wartawan Oliver Relin.

Pada 1993, Mortenson, pendaki dari Montana, Amerika Serikat, terdampar di sebuah desa miskin perbatasan Pakistan-Afghanistan, setelah gagal mencapai puncak K2. Pendakian Mortenson tersebut tidak sekedar pendakian melainkan penghormatan kepada Christa—adik perempuannya yang meninggal akibat penyakit yang dideritanya

Tidak hanya gagal melaksanakan niatnya, Mortenson juga tersesat, mengalami keletihan kronis, bahkan kehilangan 15 kg bobot tubuhnya. Setelah berjalan kaki tertatih-tatih turun gunung selama tujuh hari, Mortenson yang hendak menuju Askole, malah tiba di Korphe, desa yang bahkan tak pernah dilihatnya di peta Karakoram. Di sanalah, di gubuk Haji Ali, Mortenson dijamu dengan ramah, dirawat dengan penuh perhatian, dan dilayani bak tamu istimewa.

Di lingkungan nan miskin inilah jalan hidup Mortenson, juga jalan hidup anak-anak di Pakistan Utara, berubah. Ketika memikirkan cara membalas budi baik mereka, jantung Mortenson serasa tercerabut dan napasnya tercekat saat melihat bagaimana anak-anak di sana bersekolah: mereka duduk melingkar, berlutut di tanah yang membeku, dalam udara nan dingin, dengan tertib mengerjakan tugas. Mortenson meletakkan tangannya di pundak Haji Ali dan berkata, “Aku akan membangun sebuah sekolah untuk kalian. Aku berjanji.”

Itulah Janji dari seorang Amerika, terhadap kepala kampung dari sebuah kampung miskin di Pakistan Utara.

Selama lebih dari satu dekade kemudian, Mortenson tak hanya membangun satu, tapi 55 sekolah--terutama bagi anak perempuan di kawasan miskin yang merupakan tempat lahirnya Taliban. Kisah petualangan seru sekaligus kesaksian akan kekuatan semangat kemanusiaan.

Mortenson memulai semuanya dengan tekad sederhana dan kesendirian. Dia bukan orang kaya. Dia berumah di sebuah gudang di Montana, yang karena kemiskinannya dia ditinggalkan sang pacar. Mortenson juga sempat disekap beberapa hari oleh sebuah kelompok Muslim, dan sempat terpikir mati. Namun, keteguhannya memegang janji membuat Mortenson rela menghadapi semua rintangan.

Mortenson memulai semua itu hampir tanpa uang sepeser pun. Ia memperoleh dana pertama sekitar US$ 600, yang terkumpul dari penjualan barang-barang bekas oleh siswa-siswa sekolah menengah di kotanya. Padahal, yang dia butuhkan sekitar US$ 12,000 untuk satu sekolah di kaki Himalaya. Tapi, kegigihan dan sikap tulus yang membuat dia belakangan tak kekurangan uang untuk membangun lebih banyak sekolah. Dana belakangan datang dari berbagai kelompok Kristen, Yahudi dan Muslim Amerika, termasuk pula dari sebuah klub lesbian.

Mortenson tahu, kemiskinan merupakan satu faktor utama mengapa Muslim yang sebenarnya ramah di kawasan itu bisa berubah menjadi radikal. Dan sekolah yang lebih terbuka, tak hanya mengajarkan agama melainkan pengetahuan umum, diperlukan untuk menghadapi kesulitan hidup dan cara memandang dunia dengan lebih optimistik.
Buku terlaris di New York Times ini, menceritakan kepada kita betapa pentingnya pendidikan. Di tengah sinisme Barat dan Amerika tentang Islam-pasca peristiwa 11/9, Greg meyakinkan masyarakat Amerika, tidak semua muslim dan orang islam harus terkena dampak  terorisme tersebut. Dan salah satu cara menghentikan terorisme adalah melalui pendidikan.

Greg Mortenson, gagal mencapai puncak K2 yang diimpikannya, tetapi ia telah mencapai puncak lain sebagai pekerja kemanusiaan yang jauh lebih sulit dari gunung atau puncak manapun di dunia.

"Tiga Cangkir Teh" yang kini telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia juga semakin enak dibaca. Paling tidak bagi yang kurang ngerti bahasa Inggris.

Selamat membeli dan membaca.

0 comments:

Post a Comment

Berikan komentar anda yang membangun....

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls