Setelah mengubah nama dan lambang partai, GAM melakukan lompatan besar. Malik Mahmud turun tangan langsung menengahi konflik di organisasi itu. Benarkah GAM kembali bersatu?
ISU terjadinya perpecahan di tubuh GAM sudah menjadi rahasia umum sejak lama. Perpecahan itu pertama kali terjadi ketika pencalonan gubernur Aceh pada Pilkada 2006. Elit GAM senior ngotot mengusulkan Humam Hamid dan Zaini Abdullah, sementara suara arus bawah mengusung Irwandi dan Nazar. Sehingga terciptalah dua kubu GAM.
ISU terjadinya perpecahan di tubuh GAM sudah menjadi rahasia umum sejak lama. Perpecahan itu pertama kali terjadi ketika pencalonan gubernur Aceh pada Pilkada 2006. Elit GAM senior ngotot mengusulkan Humam Hamid dan Zaini Abdullah, sementara suara arus bawah mengusung Irwandi dan Nazar. Sehingga terciptalah dua kubu GAM.
Setelah Irwandi terpilih, konsolidasi akhirnya kembali dilakukan para tokoh GAM. Dalam sebuah kenduri di Bireuen, selisih pendapat saat pencalonan gubernur itu berhasil dicairkan kembali. Irwandi yang naik sebagai gubernur Aceh merasa puas, sebab elit GAM akhirnya memberikan dukungan kepadanya. Belakangan perselisihan politik kembali menghangat di organisasi ini saat deklarasi Partai GAM pada Juli 2007.
Ternyata kehadiran partai itu tidak hanya memunculkan kontroversi di kalangan Pemerintah Indonesia, perbedaan pendapat juga mencuat di tubuh GAM. Tak heran, beberapa tokoh GAM yang punya nama, seperti Sofyan Dawood, dipecat dari jabatannya sebagai juru bicara GAM karena perbedaan pendapat itu. Salah satu faktor perpecahan itu adalah pemakaian nama ‘GAM’ lengkap dengan bendera bulan sabit – bendera perjuangan GAM di masa konflik – sebagai citra partai lokal yang mereka bentuk. Sofyan Dawood dan beberapa rekannya adalah penentang pemakaian symbol itu.
"Itukan simbol milik rakyat. Kok digunakan untuk partai,” ujarnya dalam sebuah wawancara dengan wartawan. Tidak hanya Sofyan Dawood, beberapa pentolan GAM lainnya menolak jika simbol perjuangan masa lalu itu dijadikan lambang partai. Irwandi Yusuf termasuk yang menentang penggunakan simbol. Makanya, ketika daftar nama pengurus GAM disusun, nama Irwandi, Munawarliza dan Sofyan Dawood, serta beberapatokoh GAM penting lainnya tidak tercantum di dalam. Padahal selama proses damai, mereka ini adalah pentolan utamanya.
Saat pertama kali Partai GAM dideklarasikan, memang banyak muncul kontroversi. Sebut saja penempatan Malik Mahmud, tokoh GAM Swedia yang berwarganegara Singapura, sebagai ketua partai. Padahal dalam hukum Indonesiategas disebutkan, pemimpin maupunanggota partai politik haruslah warga negara Indonesia. Sehingga, jauh hari banyak yang memperkirakan bahwa Partai GAM tidak akan mungkin lulus dalam verifikasi yang dilakukan Departemen Hukum dan HAM. Malah Menteri Hukum dan HAM Andi Matalata sejak awal menyatakan menolak kehadiran partai ini dalam pemilu 2009.
Dihadang ditingkat pemerintah, digunjingkan pula di tingkat bawah, itulah nasib Partai GAM saat itu. Dari Jakarta, serangan tak henti-hentinya diarahkan kepada mereka karena dianggap ingin membangkitkan konflik masa lalu dan merusak perdamaian. Di kalangan anggota GAM sendiri, tidak sedikit yang menolak kehadiran Partai GAM Perpecahan tidak hanya terjadi di tingkat elit GAM di Banda Aceh. Para tokoh GAM di tingkat wilayah juga banyak yang menolak memberi dukungan untuk partai itu. Beberapa tokoh GAM di Pidie malah membentuk partai tersendiri, itulah Partai Gabthat. Mencuat pula isu bahwa sejumlah anggota GAM yang tidak sejalan dengan Partai GAM, akan membentuk partai lokal lainnya yang menjadi aspirasi mereka.
“Nama partai sudah disiapkan, termasuk lambang dan anggaran rumah tangganya,” ujar seorang tokoh GAM di Banda Aceh.
Langkah pembentukan partai itu sengaja dilakukan untuk mengantisipasti manakala Partai GAM tidak lolos verifikasi. Tapi, sebulan menjelang verifikasi dilakukan, lombatan besar dilakukan pengurus Partai GAM. Secepatnya mereka merubah nama partai menjadi ‘Partai Gerakan Aceh Mandiri’. Tetap disingkat dengan nama ‘GAM” namun karena sudah ada makna yang jelas, sehingga nama partai ini tidak memunculkan debat lagi. Perombakan dilakukan di sana-sini, termasuk tidak lagi menggunakan bendera bulan sabit yang dipertentangkan itu.
Susunan pengurus juga diubah. Posisi Malik Mahmud sebagai ketua partai digantikan oleh Muzakir Manaf, mantan penglima perang GAM. Perubahan tersebut merupakan amanah dari Malik Mahmud sendiri. Tokoh GAM yang dipanggil ‘Mantroe Malik ’ ini memang sengaja berada di Aceh menjelang verifikasi partai lokal berjalan. Ia melakukan konsolidasi penuh di jajaran tokoh GAM di daerah.
Tidak hanya melakukan perubahan dalam kepartaian, Malik Mahmud juga terjun langsung melakukan konsolidasi dengan sejumlah orang yang selama ini menolak Partai GAM, termasuk pertemuan khusus dengan Irwandi. Alhasil, perubahan besar pun terjadi. Kubu yang tadinya menentang partai GAM, setelah adanya perubahan di partai itu, kini mulai memberikan dukungan. Isu bahwa GAM terbelah, perlahan-lahan mulai termentahkan.
“Tidak ada perpecahan dalam tubuh GAM. Kami semua tetap bersatu,” kata Ibrahim KBS, juru bicara (KPA) Komiter Peralihan Aceh.
KPA adalah wadah organisasi berkumpulan mantan anggota GAM. Banyak analisa yang muncul terkait dengan perubahan yang dilakukan Partai GAM itu. Anggota DPR RI Nasir Djamil menilai, perubahan yang dilakukan GAM tersebut adalah strategis politik yang sangat jitu.
“Mereka sengaja membuat kontroversi diawal, tapi diakhir mereka melakukan perubahan drastis, sehingga terlihat ada lompatan politik yang tidak diduga banyak orang,” katanya.
Dalam pandangan Nasir, semua langkah-langkah itu adalah permainan politik yang sudah dirancang sebelumnya. Padahal, menurut salah seorang pengurus Partai GAM, perubahan nama dan bendera itu sama sekali tidak terkait dengan strategi politik.
“Perubahan itu murni karena kita khawatir tidak lolos dalam verifikasi. Agar bisa ikut pemilu, mau tidak mau kita harus mengalah,” katanya.
Sumber itu terkekeh-kekeh ketika mendengar banyak analisis bahwa GAM sengaja memainkan lakon politik yang tidak konvensional. Para pentolan GAM tampaknya menyadari, kalau mereka terus bersikukuh dengan konsep partai seperti semula, mereka akan menghadapi risiko politik yang cukup berat: tidak bisa ikut Pilkada 2009. Padahal jauh hari GAM berharap bisa menguasai kursi mayoritas di parlemen Aceh.
Departemen Hukum dan HAM sudah dua kali mengirimkan surat kepada pengurus partai itu tentang sulitnya melakukan verifikasi terhadap Partai GAM. Surat pertama kurang ditanggapi. Namun saat menerima surat kedua, apalagi jadwal verifikasi sudah dekat, tidak ada pilihan lain, GAM terpaksa mengalah.
“Kita akhirnya mengubah nama dan bendera demi untuk melanggengkan perdamaian,” kata Adnan Beuransyah, salah seorang pendiri partai tersebut.
Ia berharap, dengan perubahan ini tidak ada lagi suara-suara miring yang mengatakan bahwa GAM tidak mendukung perdamaian di Aceh. Kalau saja para tokoh GAM itu tidak ambil bagian dalam Pemilu nanti, tentulah amat disayangkan. Betapa tidak, kekuatan dukungan massa untuk mereka sudah terbukti cukup besar. Pada Pilkada gubernur lalu misalnya, meski mereka terbelah, toh, kedua figur yang mereka calonkan menduduki posisi dua besar dari tujuh kandidat yang bersaing.
Irwandi – Nazar memperoleh 34,3 persen suara, sedangkan 18,5 persen. Jika kedua kekuatan ini digabungkan, berarti dua kandidat yang didukung GAM ini bisa meraih 50 persen suara di Aceh. Asumsi ini tidak bermaksud menafikan dukungan PPP yang diberikan kepada pasangan Humam Hamid – Zaini Abdullah. Tapi mesti pula disimak bahwa perolehan suara untuk pasangan Humam- Zaini paling banyak berasal dari Pidie.
Di sana adalah basis pergerakan GAM. Catatan yang lebih penting lagi, pada waktu itu kekuatan GAM di tingkat akar rumput dan SIRA menyatu. Pada pemilu mendatang kondisinya berbeda. Boleh saja GAM mengaku sudah bersatu. Tapi itu bukan jaminan mereka kembali berjaya seperti pada Pilkada lalu. Soalnya, suara pendukung mereka ikut terbelah tiga seiring dengan terbentuknya dua partai, yakni Partai GAM dan Partai SIRA. Belum lagi Partai Gabthat yang diklaim juga dimotori oleh tokoh GAM Pidie. Dibanding Partai GAM, Partai SIRA justru lebih solid. Mereka tidak mengalami perpecahan berarti. Meski saat kongres lalu sempat terjadi perdebatan panjang di kalangan anggotanya, namun tidak pernah tersiar kabar bahwa SIRA terbelah menjadi lebih dari satu partai.
Di daerah, para aktivis SIRA juga masih utuh terjun ke dalam satu partai. Kondisi ini memudahkan mereka untuk melakukan konsolidasi ke bawah. Di antara Partai SIRA dan Partai GAM, entah partai mana yang paling mendapat dukungan nantinya. Keduanya sama-sama menjadikan wilayah pantai Timur sebagai lumbung suara. Maklum, jumlah pemilih di wilayah ini lebih banyak dibanding pesisir barat maupun Aceh wilayah tengah.
Dari 2,4 juta pemilih di Aceh, 50 persen berada di pesisir timur, 20 persen di wilayan tengah barat dan 30 persen di wilayah pantai barat. Yang cukup mengherankan adalah, di tengah hiruk pikuk gaung partai local itu, partai nasional seakan kehilangan pendukung.
Dari semua partai yang ada, hanya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang masih aktif melakukan pendekatan kepada masyarakat di Aceh. Mereka menggelar agenda-agenda agama. Beberapa waktu lalu misalnya, Presiden PKS berkunjung ke Aceh untuk menghadiri pertemuan dengan konsituensi. Acara itu mereka sebut dengan nama ‘Dekat’. Sementara PPP seakan tenggelam.
Dalam analisa kalangan akademisi, suara PPP akan mengalami penurunan dalam Pilkada mendatang. Pendukung mereka banyak beralih memilih partai lokal yang lebih banyak menonjolkan isu Islam dan ke-daerah-an.
“Isu nasional kurang menjual lagi pada pemilu mendatang. Siapa yang bisa menonjolkan isu ke daerahan, pasti dia akan yang dilirik pemilih di Aceh,” kata Teuku Kemal Fasya, pengamat politik dari Universitas Malikulsaleh, Lhoseumawe.
Untuk Partai Golkar, meski bakal tetap menguasai wilayah Aceh bagian tengah, namun mereka bukan tidak punya saingan di sana. Partai lokal memang kurang bergema di Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo Lues, Aceh Tenggara dan Aceh Singkil. Lagi pula,tidak satupun partai lokal Aceh yang berharap akan menangguk banyak suara di daerah ini.
Secara tradisional, lima kebupaten ini adalah milik Golkar. Tapi Golkar bakal punya saingan. Lawan potensial mereka adalah partaipartai baru, salah satunya Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) yang dipimpin Wiranto. Terbukti, beberapa waktu lalu, Wiranto telah melakukan penggalangan massa di wilayah itu. Ia berhasil merekrut tokoh masyarakat lokal untuk bergabung ke dalam Hanura. Yang jelas, Pilkada 2009 nanti, akan menghadirkan fenomena sendiri di Aceh. Akan banyak terjadi perubahan di sanasini. Terutama perubahan dari segi kekuatan pemilih.
Setelah sukses menghadirkan calon independen dalam Pilkada-yang kemudian ditiru secara nasional-Aceh pun akan menjadi pijakan dalam menghadirkan partai lokal. Semoga Aceh tetap menjadi simbol perubahan untuk demokrasi.***
Note : Tulisan ini pernah dimuat di Tabloid Sipil tahun 2008 hasil liputan penulis, Acun dan Amd.
0 comments:
Post a Comment
Berikan komentar anda yang membangun....