Hanafiah Orang Tua Asuh Orkes Gambus

Gaya bicaranya pelan dan teratur. Badannya kurus, kulitnya sawo matang, rambutnya hitam belum ada uban yang terlihat. Hari itu, ia mengenakan celana kain warna hitam dan baju kaos coklat yang mulai mengusam. Senyum selalu terukir dari bibirnya. Jalannya pelan, sesekali ia menyodorkan tangannya ke depan, seperti orang mereba-raba dalam kegelapan. Bagaimana tidak, dia tidak memiliki kesempurnaan fisik seperti kebanyakan orang, kedua matanya buta.



Namanya Hanafiah, kelahiran Lamnga, Kreung Raya, Aceh Besar 1972 anak dari pasangan Nurasiah dan Idris ini, walaupun secara fisik dia cacat, namun dia memiliki  keahlian yang jarang dimiliki oleh orang lain, yaitu memainkan alat musik gambus. Suaranya sangat khas, merdu dan enak didengar. Tidak kalah dengan penyanyi-penyanyi nasional yang sedang ngetop saat ini.

Kemampuan seni yang dimilikinya tidak semata-mata dimanfaatkan untuk dirinya, dia mencoba untuk menyalurkannya kepada orang lain. Sehingga pada tanggal 1 Agustus 2005, ia berinisiatif untuk mendirikan sebuah group musik gambus, dengan nama Orkes Gambus. Awalnya, Hanafiyah mengembangkan Orkes Gambus ini di kawasan pasar dua Lamnyong, tepatnya di depan perpustakaan wilayah, Banda Aceh, dengan menyewa sebuah took yang sangat sederhana dan berukuran kecil.

“Orkes gambus ini sebenarnya sudah lama terbentuk walaupun dengan alat-alatnya yang sudah usang. Untuk memainkan musik ini kita membutuhkan keybord dan juga sound sistemnya,” ungkap Hanafiah.

“Hal ini saya lakukan, karena saat ini sangat sedikit orang yang mengerti tentang jenis musik ini. Keinginan dan kecintaan orang terhadap musik ini sangat sedikit,” sambungnya.

Awalnya dia mulai memperkenalkan musik gambus kepada masyarakat, dengan merekrut anak-anak yang berusia 15 tahun untuk didik cara penggunaan alat musik jenis ini. Sistem pendidikan yang diterapkannya bersifat seperti layaknya mata pelajaran tambahan di sekolah-sekolah formal (les). Jumlah peserta pertama yang mengikuti les tersebut 25 orang, namun sayang les tersebut tidak bertahan lama, hanya berjalan empat bulan.

“Saya juga tidak tau penyebabnya apa, mungkin mereka bosan karena tidak trendi dengan zaman sekarang ini,” ujarnya sambil senyum.

Ketika ide untuk mendirikan orkes pertama kali muncul, Hanafiyah mendapat kecaman dan celaan hebat dari teman-temannya. Kala itu, teman-temannya masih malu untuk tampil di depan publik dengan kekurangan yang mereka miliki. Tapi berkat kerja keras dan semangat yang kuat, akhirnya ia bisa meyakinkan teman-temannya untuk mendapatkan ruang di hati masyarakat.

Waktu itu dia sempat berharap, kalau suatu saat alat-alat musiknya yang sudah usang, bisa digantikan dengan alat musik yang baru. Akhirnya keinginannya pun tercapai, tujuh bulan kemudian Dinas Sosial, Banda Aceh memberikan bantuan seperangkat sound sistem kepadanya.

“Namun sudah tidak layak pakai lagi untuk zaman sekarang. Sound sistemnya hanya berukuran 700 hz, hanya bisa dipakai untuk acara ulang tahun saja,” katanya.

Perekrutan anggota Orkes Gambus ini diutamakan anak-anak yang memiliki kesehatan fisik sempurna, tidak cacat seperti dirinya. Alasanya sangat sederhana, supaya anak-anak yang diajarinya mudah mengerti pada saat latihan dan cepat bisa untuk memaikan musik gambus ini.

Setelah mengembangkan Orkes Gambus selama dua tahun di kawasan Lamnyong, akhirnya pada tahun 2007 ia memutuskan untuk mencari tempat yang lebih layak untuk mengembangkan Orkes Gambusnya di kawasan Lambhuk. Saat ini, Orkes Gambus memiliki anggota keseluruhan 15 orang, semuanya tuna netra. Namun anggota yang aktif hanya 5 orang, diketuai langsung oleh Hanafiah.

Dua orang dari anggotanya adalah cewek yang dipakai sebagai personilnya. Mereka Nurlaili dan Kasmiati. Mereka berdua merupakn teman-teman Hanafiah di sekolah luar biasa (SLB), Ulee Kareng dulu, mereka bersama selama enam tahun di sana. Hanafiah termasuk salah satu siswa teladan. Sedangkan Hanafiah sendiri, memegang peranan sebagai pemain kaybord, walaupun sekali-kali ia juga menunjukkan kebolehannya dalam hal olah vokal. Ia tidak sembarangan memilih orang sebagai personilnya.

“Untuk menjadi personil orkes gambus ini tidaklah mudah, mereka harus mengikuti seleksinya dulu,” ujarnya.

Untuk masalah keuangan, Hanafiah mempercayakan kepada Safrizal, salah seorang temannya yang sudah banyak membantunya selama ini. Safrizal merupakan satu-satunya anggota yang normal di Orkes Gambus.

“Kami memilih orang normal agar dia bisa mengkoordinir dana semaksimal mungkin. Walaupun kami tidak bisa melihat, tapi kami tidak mau berprasangka negatif, karena kalau kita selalu berprasangka tidak akan pernah maju,” ungkap Hanafiah.

Di usianya yang ketiga, Orkes Gambus telah mampu membuktikan kemampuan mereka. Bahkan setiap ada acara perkawinan, ulang tahun, maulid sampai acara di pemerintahan, mereka sering kali menunjukkan kebolehannya memainkan alat musik dengan lantunan syair yang menggugah hati. Untuk sekali tampil dengan durasi waktu empat jam sampai setengah hari, mereka mendapatkan bayaran Rp 700.000, sampai Rp 1.500.000,.

“Penghasilan kami tidak tetap, sangat tergantung pada undangan untuk tampil. Sehingga tidak bisa ditebak, dalam satu bulan bisa mendapatkan berapa,” katanya.

Dengan penghasilan seperti itu, Hanafiah mengaku, tidak bisa menutupi sewa toko yang mereka tempati. Untuk took, ia harus mengeluarkan dana sebesar Rp 20 juta per tahun dan harus membayar sebesar 800.000 tiap bulanya.

Kecintaannya terhadap musik gambus sudah tertanam sejak kecil. Baginya musik ini memiliki pengaruh yang begitu besar terhadap jiwanya. Dia sering menghibur dirinya dengan musik ini. Walaupun cara memainkannya sedikit susah, namun ketertarikannya terhadap musik ini tak pernah surut.

“Susahnya bukan apa-apa, karena kita harus menyimak lagu dari tipe dulu, baru bisa memainkannya dengan menggunakan kybord,” kata Hanafiah.

Berbagai kendala terus saja dihadapi Hanafiah bersama anggotanya untuk mengembangkan Orkes Gambus. Bahkan tak jarang mereka mendapat ancaman dari tetangga sekitar, dengan alasan suara yang ditimbulkan pada saat mereka latihan terlalu bising dan mengganggu.

“Pada saat latihan suara musik tidak boleh keras-keras agar tidak terdengar oleh tetangga di samping. Karena kalau mengganggu, warga sekitar tidak ragu-ragu untuk mengusir kami,” ungkapnya.

Tapi Hanafiah sama sekali tidak menghiraukan hal tersebut. Walaupun masalah yang mereka hadapi besar, tapi mereka tidak terlalu mempedulikannya.

“Setiap perjuangan yang mulia pasti ada halangannya. Itu istilahnya kerikil, supaya kita sampai ke tujuan, kita harus menyapu kerikil-kerikil itu dengan bersih, makanya kami anggap biasa aja,” tuturnya dengan santai.

“Kami juga berniat kalau sudah ada uang nanti, kami akan memasang alat penyadap suara, agar suaranya nanti tidak terdengar lagi keluar, tapi sayang sekarang belum bisa kami pasang karena belum ada dana,” sambungnya.

Sebagai seorang ketua di Orkes Gambus ini, Hanafiah sangat berkeinginan untuk membangun sebuah pemancar radio yang nantinya dikelola oleh orang-orang tuna netra. Hal tersebut sudah disampaikan kepada pihak Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) setempat. Namun Hanafiyah terbentur dengan masalah dana, karena pihak KPID mengharuskan untuk membeli alat-alat dari mereka yang sudah lengkap dengan harga Rp 90 juta.

“Kami sangat berharap, KPID bisa memberikan izin kepada kami tanpa tanpa harus membeli alat dari mereka. Karena tidak mungkin kami bisa mendapatkan dana sebesar itu,” ujar ayah tiga anak ini penuh harap.

Saat ini, Hanafiah berharap agar BKPN, Lampineung, Banda Aceh, mau memberikan perhatiannya pada orkes gambus ini. Menurutnya, apa yang dilakukan selama ini bukanlah untuk kepentingan pribadi, melainkan untuk kemaslahatan bersama. Ia berkeinginan, agar nantinya anak-anak tunanetra tidak ada lagi yang berkeliaran di jalan untuk meminta-minta, tapi mereka ada kegiatannya masing-masing.

“Memang agama membolehkan kita untuk meminta-minta apabila kita tidak mampu untuk bekerja dan tidak punya sama sekali. Tapi Allah lebih senang kalau kita mau berusaha. Memberi lebih baik daripada menerima, tangan di bawah lebih baik daripada tangan di atas,” ungkapnya tegas.

Berbagai keunikan dimiliki laki-laki satu ini. Walaupun statusnya sebagai penyandang cacat, namun kahliannya patut diacungi jempol. Selain jago memainkan alat musik dan menyanyi, dia juga mahir dalam hal pijat memijat. Banyak orang mengaku salut terhadapnya.

“Pak Hanafiyah itu sosok yang paling luar biasa bagi saya, walaupun dia serba terbatas secara fisik, tapi dia memiliki kelebihan yang tidak ada sama orang lain,” ungkap Safrizal, yang sehari-hari ikut membantu aktifitas Hanafiyah.

Membuka panti pijat merupakan salah satu usaha lainnya yang ditempuh Hanafiyah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk mengembangkan usaha panti pijatnya, selain Safrizal, ia juga ditemani isteri tercinta yang selalu siap membantunya. Isterinya juga penyandang cacat seperti dirinya.

Toko dua lantai tersebut selain tempat belajar dan mengasuh anak-anak didiknya dalam bidang tarik suara, ia juga memanfaatkan lantai satu untuk membuka praktek pijat kebugaran, dengan nama ‘panti pijat sehat.

Hanafiyah menggeluti dunia ini sudah puluhan tahun lalu, jauh sebelum Orkes Gambus didirikan. Jadi, jangan heran kalau sampai saat ini dia juga sudah punya pelanggan tetap yang setiap minggu datang padanya untuk menyegarkan tubuh.

Ongkos yang diitetapkan untuk sekali pijatan sangat bervariasi. Untuk klaen yang datang langsung ke tempatnya dikenakan biaya sebesar Rp 30.000, dengan ruangan tanpa AC, sedangkan untuk ruangan full AC, klaen dikenakan biaya sebesar Rp 50.000,. Apabila klaen memintanya datang ke rumah, maka biaya yang ditetapkan sama dengan harga pijat di ruangan full AC.

Dari hasil usahanya ini, ia bisa mendapatkan penghasilan mencapai Rp 3 jta perbulan. Jumlah ini sedikit lebih rendah dari targetnya, yaitu Rp 1 juta dalam seminggu dan Rp 4 juta perbulan. Walaupun demikian, ia merasa puas dengan apa yang dia dapat selama ini.

Hal yang paling diutamakan Hanafiyah untuk mengembangkan usahanya ini adalah kepuasan pelanggan. Baik dari segi pelayanan, maupun fasilitas yang disediakan.

Pokoknya yang terpenting, ketika orang mengeluarkan uang mereka untuk membayar saya, mereka tidak kecewa, merasa puas dan mau balik lagi kemari,” ungkap Hanfiyah.

0 comments:

Post a Comment

Berikan komentar anda yang membangun....

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls