Oleh: Junaidi Mulieng
![]() |
Ahmad sedang memilih pecahan kapur di tempat pembakaran (jun_mul) |
“Kalau batunya kurang masak saat pembakaran, ya seperti ini, harus disortir lagi agar tidak bercampur dengan batu yang sudah menjadi kapur,” ungkap laki-laki itu.
“Tapi kalau batunya sudah betul-betul masak, kerjanya bisa lebih cepat dan mudah, tinggal dipecahkan saja bisa langsung dimasukkan dalam karung,” tambahnya.
Namanya M. Asyek, 58 tahun, warga desa Aneuk Paya, Kecamatan Lhoknga, Aceh Besar. Postur tubuhnya tegap, kulit hitam, berambut ikal. Ia adalah pekerja sekaligus pemilik pabrik pembuatan kapur di daerah itu. Pabrik kapur miliknya sudah berusia puluhan tahun dan termasuk salah satu pabrik kapur tertua di Aceh.
“Pabrik ini adalah warisan keluarga, saya tidak tau pasti kapan pabrik ini dibangun. Sejak saya kecil, pabrik ini sudah ada dan saya sering dibawa oleh ayah saya untuk ikut membantunya bekerja waktu itu. Sejak itu saya mulai belajar sedikit demi sedikit, dan akhirnya saya mewariskan pekerjaan orangtua saya. Karena dalam keluaraga hanya saya yang bisa,” kisah M. Asyek.
Setelah orang tua dan saudaranya tiada, pabrik tersebut benar-benar ia manfaatkan sebagai mata pencahariannya untuk menghidupi keluarga. Ia pun menyematkan sebauh nama untuk usahanya itu. Gua Ie Lup namanya, diambil dari nama gua di daerah tersebut.
Bangunan tersebut terletak di atas tanah seluas satu heaktare. Tepatnya di desa Naga Umbang, Lhoknga Aceh Besar. Sekitar satu kilometer dari tempat tinggalnya. Bentuknya sangat sederhana. Terbuat dari belahan kayu, beratap seng, tanpa dinding. Di dalamnya dipenuhi bubuk kapur yang bertaburan. Ada juga yang sudah dimasukkan dalam karung dan tersusun rapi.
Di sebelah timur bagunan, terdapat tungku yang terbuat dari batu-bata. Tingginya mencapai lima meter, dengan lebar semester setengah. Bagian atas berbentuk bulat dan berlubang begitu juga bagian bawah, tapi ukurannya lebih kecil. Di sekitar bangunan, terdapat tumpukan kayu bakar dan batu gunung yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan kapur. Di sanalah batu-batu karang dibakar, sebelum selanjutnya menjadi kapur.
Pembuatan kapur membutuhkan waktu yang lumyan lama. Batu-batu yang sudah dikumpulkan tersebut, satu persatu dimasukan dalam tungku pembakaran. Pada saat batu dimasukkan juga tidak bisa sembarangan, harus memiliki ketelitian dan keahlian khusus untuk menyusun batu-batu tersebut dalam tungku bembakaran. Apalagi pada lapisan dasarnya, karena jika salah dalam menyusun, bisa-bisa batu tersebut tidak masak.
Setelah batu-batu siap disusun, selanjutnya dilakukan pembakaran selama satu minggu berturut-turut, siang dan malam.
“Biasanya pada saat melakukan pembakaran kita menerapkan sistem piket, dalam sehari dua orang yang bertugas untuk menjaga api agar tetap menyala,” jelasnya.
Dalam sekali pembakaran, menghabiskan 64 kubik batu atau 16 truk dan 20 truk kayu. Untuk mendapatkan batu, ia harus mengeluarkan biaya sebesar Rp 450.000, per truk dengan ukuran empat kubik.
Jenis batu yang digunakan untuk pembuatan kapur ini adalah batu karang dengan kualitas bagus, yang khusus diambil dari pegunungan di wilayah Lhoknga. Dari pengalamannya selama puluhan tahun sebagai pembuat kapur, batu di daerah Lhoknga memiliki kualitas tinggi disbanding dengan tempat lain.
“Dulu kita pernah coba untuk pesan batu di daerah lain, namun hasilnya tidak bagus, kapur berwarna kuning karena kualitas batu yang rendah. Tapi kalau batu daerah sini sudah terjamin, hasilnya tidak pernah mengecewakan,” ujarnya.
Sedangkan harga untuk kayu, sedikit mengalami kenaikan harga, dari Rp 250.000, per truk menjadi Rp 400.000, per truk. Hal tersebut disebabkan karena adanya persaingan harga dengan pembeli luar yang memasok kayu dari daerah tersebut.
“Harga kayu naik, setelah adanya permintaan dari luar untuk pembakaran batu-bata. Mereka mau membayar dengan harga lebih mahal. Jadi pemilik kayu sudah tidak mau lagi menjual kayu dengan harga sebelumnya yang relatif murah. Sehingga saat ini, agak sedikit susah untuk mendapatkan kayu, biasanya, biaya yang dikeluarkan untuk kayu saja mencapai Rp 9 juta.” ungkap bapak empat anak ini.
“Kalau dihitung-hitung, biaya keseluruhan yang harus dikeluarkan untuk sekali pembakaran mencapai Rp 25 juta. Itu sudah termasuk keperluan kecil-kecil, seperti makan dan gaji karyawan. Pokoknya siap panenlah,” timpalnya.
Setelah pembakaran selesai dan dipastikan betul-betul masak, kemudian batu-batu tersebut dikeluarkan satu persatu. Warnanya berubah jadi putih kapur. Sifatnya yang keras, menjadi rapuh sehingga mudah untuk dihancurkan. Hanya dengan mengunakan palu. Lalu, pecahan-pecahan batu kapur tersebut dimasukkan dalam karung dengan berat 25 kilogram. Dalam sekali pembakaran, bisa menghasilkan kapur 35-37 ton.
“Itu kalau batunya bisa masak semua pada saat pembakaran. Tapi kalau tidak, hasilnya bisa kurang dari itu, waktu yang dibutuhkan juga lebih lama, karena kita harus mensortir lagi kapur-kapur tersebut agar tidak bercampur dengan batu yang tidak masak,” katanya.
Kapur yang dihasilkan dibagi dalam dua jenis, kasar dan halus. Kapur yang kasar, dengan pecahan-pecahan kecil, biasanya dimanfaatkan untuk bahan baku cat dan penyedap makanan, seperti sirih. Caranya, mencampur butiran batu kapur tersebut dengan air terlebih dahulu. Kalau untuk kapur sirih, setelah dicampur air, harus diendabkan selama beberapa menit agar airnya mengering.
Tapi harus hati-hati juga, jangan sampai butiran kapur yang disiram air tersebut terkena kulit, karena bisa terkelupas. Walaupun kelihatannya sudah dingin, tapi butiran kapur ini memiliki kandungan panas yang tinggi.
"Begitu juga dengan serbuknya, setelah digunakan, tangan kita tidak bisa langsung dibersihkan dengan air, tapi terlebih dahulu dibersihkan dengan minyak untuk meredam hawa panasnya,” papar Asyek, sambil menyiram pecahan batu kapur dengan air mempraktekkan.
Kapur yang halus (sudah dianginkan), biasanya digunakan untuk ditaburkan ke tambak sebelum ditaburkan bibit ikan atau udang.
Dalam menjalankan usahanya tersebut, M. Asyek dibantu enam pekerja, yang mengurus pencarian bahan baku sampai pembakaran.
“Tapi sekarang sudah tidak tentu, karena banyak yang minta berhenti dengan alasan gajinya kecil. Ditempat lain sudah memberikan gaji Rp 50.000, perhari, sedangkan saya belum sanggup menaikannya,” katanya.
Ahmad, 20 tahun, seorang pekerja mengatakan, dalam sehari ia bersama rekan-rekannya, bisa mengumpulkan pecahan batu kapur tersebut 4-5 ton yang dimasukkan dalam karung seberat 25 Kg. “Itu kalau pembakaran batunya bagus, tapi kalau tidak, dalam satu hari kami hanya bisa mendapatakan seperempat ton, bahkan kadang-kadang kurang. Karena kita harus mensortir kembali antara batu yang sudah jadi kapur dengan batu tidak masak, ini membutuhkan ketelitian dan waktu yang lama,” ungkap remaja asal Lhokseumawe ini.
Sebagai pekerja, ia mendapat upah sebesar Rp 45.000, per hari. Tapi jika pemilik pabrik menerapkan sistem borongan, upah yang didapat Rp 1000, dalam satu sak. “Biasanya kalau pembakarannya kurang bagus, jarang mau dikasih borongan, karena pemilik pabrik kuatir batu kapur yang sudah jadi, tercampur dengan batu yang tidak masak. Apalagi kalau ada pekerja yang hanya mengejar takaran timbangan saja, sehingga tidak begitu hati-hati dalam mensortir, lebih-lebih tanpa pengawasan dari pemilik,” ujar Ahmad.
Biasanya, kapur-kapur yang sudah siap pakai tersebut, dipesan dan diambil langsung ketempatnya dengan harga jual Rp 12000 per kilogram, dan Rp 30.000, dalam satu sak. Dalam sekali pembakaran, keuntungan bersih yang didapat berkisar antara Rp 5 juta sampai Rp 8 juta. Namun, ia berencana untuk menaikkan harga, karena bahan baku sudah serba mahal.
“Kalau tidak kita naikkan, dalam sekali pembakaran kerugian mencapai Rp 4 juta. Itu untuk kayu saja, belum lainnya,” ucapnya.
Dari hasil usahanya tersebut, Asyek bisa menghidupi perekonomian keluarganya dan menyekolahkan keempat anaknya, yang saat ini masih mengecap pendidikan di perguruan tinggi dan pesantren.
Daerah distribusi kapur-kapur hasil olahan tangannya tersebut sudah mencapai ke seluruh pelosok Aceh. Bahkan, beberapa waktu lalu, seorang pengusaha Cina dari Medan, datang padanya untuk menawarkan kerjasama. Pengusaha tersebut memintaanya untuk menyediakan kapur setiap harinya 10 ton, tapi ia menolaknya karena takut tidak mampu memenuhi permintaan.
“Dengan kondisi seperti saat ini, bahan baku mulai sulit dan pekerja juga semakin sedikit, tidak mungkin kita bisa memenuhi permintaan mereka. Daripada nanti berakhir tidak enak di tengah jalan, lebih baik tidak dari pertama,” katanya.
Setelah seluruh hasil pembakaran siap dipanen, ia bersama para pekerjanya beristirahat selama sebulan untuk mencari bahan baku, batu dan kayu. Setelah jumlah kayu dan batu yang dibutuhkan terpenuhi, pembakaran pun kembali dilakukan.
Asyek mengaku, selama menggeluti pekerjaan tersebut, ia belum pernah mendapatkan bantuan sekali pun, baik dari pemerintah maupun lembaga donor. Padahal ia sudah berkali-kali didatangi oleh berbagai pihak untuk melakukan pendataan.
Ia sendiri juga malas untuk meminta. Kalau pendataan, sudah sering kali dilakukan. Beberapa bulan lalu juga ada yang datang, untuk melihat usahanya dan didata untuk diberikan bantuan. Tapi sampai sekarang tidak ada hasil. Malah bantuan diberikan kepada orang-orang yang tidak berhak dan tidak punya usaha apa-apa.
"Sedangkan saya yang korban tsunami, tidak mendapat apa-apa. Padahal saya punya usaha untuk menghidupi perekonomian keluarga, tapi tidak ada dana untuk mengembangkan usaha ini. Apa karena saya punya usaha, makanya saya tidak mendapatkan apa-apa,” cetus Asyek kesal.
Selain pabrik kapur milik Asyek, didaerah tersebut terdapat dua pabrik lainnya yang mengalami nasib serupa. Bahkan ada yang sudah jarang beroperasi. “Padahal pabrik kapur hanya ada di daerah ini, kalau memang tidak percaya bisa dicek, apa ada pabrik kapur di daerah lain. Memang ada di Aceh Tamiang yang baru didirikan, tapi mereka menggunakan kulit kerang sebagai bahan baku dan kualitasnya jauh berbeda. Setahu saya ini adalah pabrik kapur tertua di Aceh,” ucap Asyek.[]
2 comments:
Mengapa pemerintah selalu saja lali untuk memperhatikan hal seperti ini. sangat menyedihkan.
oh iya, ada gambarnya ga bg jun?
Bang Martha, terimakasih komentarnya. Ya, begitulah negara kita nasib rakyat kecil sering terabaikan. Sesuai permintaan fotonya sudah dipost tu.
Post a Comment
Berikan komentar anda yang membangun....