Substansi Raqan Wali Nanggroe Masih Terbuka untuk Dikaji

BANDA ACEH - Substansi yang terdapat dalam draf Rancangan Qanun Lembaga Wali Nanggroe (Raqan LWN), masih terbuka untuk dibahas dan dikaji ulang dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) dan pembahasan bersama antara legislatif dan eksekutif.

Materi draf yang masih terbuka untuk didiskusikan itu adalah tugas dan fungsi serta kewenangan WN yang dinilai sebagian anggota DPRA sudah memasuki ranah pemerintahan, politik, dan sistem pemerintahan, sehingga kewenangan sang Wali Nanggroe telah melebihi kewenangan yang diberikan oleh UU Nomor 11 Tahun 2006 (UUPA).
 

Kemungkinan untuk mengkaji ulang substansi draf raqan tersebut dikemukakan Juru Bicara Inisiator Penyusun Draf Raqan LWN yang baru, Nasruddinsyah SH, pada Sidang Paripurna IV Masa Persidangan IV di Gedung DPRA, Kamis (2/12).

Menurut Nasruddinsyah, draf Raqan LWN yang telah dibuat dan kini sudah disampaikan dalam sidang paripurna untuk dijadikan usul inisiatif anggota DPRA itu memang masih memerlukan pembahasan lanjutan dalam forum sidang dewan. 


“Namun, kami juga ingin memberikan penjelasan dan tanggapan terhadap pemandangan umum anggota DPRA yang telah disampaikan maupun terhadap pendapat dan saran Gubernur Aceh, sehingga diperoleh visi yang sama dalam merumuskan sebuah aturan perundang-undangan yang diharapkan mampu membawa perubahan yang lebih baik untuk kepentingan Aceh kini dan ke depan,” ujarnya.

Raqan LWN ini, kata Nasrudinsyah, memang sudah pernah dibahas anggota DPRA periode 2004-2009. Tapi karena pada saat itu antara legislatif dengan eksekutif belum sepakat terhadap beberapa materi Raqan LWN, maka dia nilai raqan itu belum menjadi produk hukum. Apalagi memang belum diundangkan dalam Lembaran Daerah Aceh.

Sekretaris Komisi A DPRA ini juga menanggapi pertanyaan anggota DPRA dari Partai Demokrat, M Yunus Ilyas MSi. Sebelumnya Ilyas bertanya mengapa inisiator menyebutkan di dalam laporannya bahwa dalam penyiapan draf Raqan LWN yang baru itu seakan-akan Komisi A DPRA hanya melaksanakan amanah dari pimpinan, bukan inisiatif dari inisiator sendiri. 


“Dapat kami jelaskan bahwa awalnya DPRA bersama eksekutif yang telah menetapkan raqan Lembaga Wali Nanggroe sebagai salah satu qanun prioritas tahun 2010 yang menjadi inisiatif  DPRA,” katanya. 

Lalu kemudian, untuk menyiapkan draf awalnya dan sekaligus menjadi inisiator dari penyusunan draf Raqan LWN itu, Pimpinan DPRA setelah mempertimbangkan usulan Badan Legislasi DPRA, lalu meminta Komisi A DPRA menjadi inisiatornya.

Dalam Pasal 19 ayat (1) Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan Qanun ada disebutkan bahwa rancangan qanun dapat disampaikan oleh anggota, komisi, gabungan komisi atau panitia legislasi DPRA/DPRK. Pada ayat (2)-nya dijelaskan lagi, rancangan qanun yang berasal dari anggota sebagaimana dimaksud ayat (1), sekurang-kurangnya diajukan oleh lima anggota sebagai pemrakarsa yang berasl dari dua fraksi atau lebih. 

“Jadi, kami menyusun draf Raqan Lembaga Wali Nanggroe yang baru itu sekaligus sebagai inisiatornya lebih melihat dalam rangka melaksanakan amanah yang diemban oleh lembaga ini yang ditugaskan kepada Komisi A,” ujar Nasruddinsyah. 

Ia mengucapkan terima kasih dan memberi apresiasi kepada seluruh anggota dewan yang telah menaruh perhatian penuh dalam proses penyusunan draf baru Raqan LWN yang akan dijadikan raqan usul inisiatif dewan tersebut. “Mudah-mudahan Allah memberikan petunjuk kepada kita, sehingga mampu melahirkan Qanun Lembaga Wali Nanggroe yang komfrehensif untuk kebutuhan Aceh kini dan ke depan,” ucapnya.

Sidang lanjutan paripurna untuk pengesahan Raqan LWN untuk menjadi raqan usul inisiatif dewan ini, dipimpin Ketua DPRA, Drs Hasbi Abdullah. Dari pihak eksekutif, diwakili Sekda Aceh, T Setia Budi. Pada sidang sebelumnya, Gubernur Irwandi Yusuf sudah memberikan pendapat dan saran. Ia inginkan agar dalam penyusunan Raqan LWN itu benar-benar mengacu kepada Pasal 96 UUPA. 

Kurang partisipasi 

Sementara itu, Forum LSM Aceh menyambut baik upaya DPRA akan mengesahkan 14 raqan pada bulan Desember ini.


“Semestinya agenda seperti ini telah dilakukan lebih awal, tidak terlambat seperti sekarang. Aceh butuh percepatan pembangunan hukum, mengingat banyak hal yang harus dibenahi passadamai. Keterlambatan dalam pengaturan hukum saat ini menjadi evaluasi bagi DPRA agar tidak terulang pada masa-masa berikutnya,” tulis Sekretaris Jenderal (Sekjen) Forum LSM Aceh, Sudarman.

Meski memberi apresiasi terhadap kinerja dewan, Forum LSM mengkritisi minimnya penyebaran informasi ke publik terkait proses legislasi (pembuatan aturan) di DPRA. Dinilai tidak terbuka ruang partisipasi publik pada setiap tahapan pembahasan qanun serta tidak mengakomodir setiap masukan yang disampaikan masyarakat. 

Menurut Forum LSM, minimnya penyebaran informasi berakibat pada rendahnya keterlibatan dan respons masyarakat atas aturan-aturan yang sedang dibuat, terutama tentang Raqan LWN yang hendak diparipurnakan atau disahkan. 


Catatan forum LSM, bila sudah begini praktis tidak akan terjadi elaborasi aspirasi masyarakat dengan aturan yang sudah dihasilkan oleh Pemerintahan Aceh. Artinya, qanun tersebut tidak sesuai harapan rakyat Aceh sehingga berdampak negatif pada implementasi qanun itu di lapangan kelak serta bisa mandul. 


“Kekhawatiran kita, persoalan ini malah bisa menimbulkan konflik di antara sesama masyarakat Aceh sendiri,” ujar Sudarman.

Guna merawat dan melestarikan damai yang sedang berlangsung, Forum LSM Aceh minta agar dalam setiap pembahasan qanun, DPRA lebih mengutamakan kepentingan masyarakat serta mengedepankan pembahasan qanun yang bersentuhan langsung dengan kebutuhan publik.(sumber: serambinews)

0 comments:

Post a Comment

Berikan komentar anda yang membangun....

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls