Bakat seni dan kebebasan melakat pada dirinya. Kecintaannya terhadap dunia sastra dan penulisan ingin ia tularkan pada generasi muda Aceh dengan mendirikan sekolah menulis.
Bagi kalangan budayawan di Aceh, tentu sudah tak asing dengan sosok satu ini. Gaya bicaranya pelan dan tegas. Rambut gonderong dan berewokan, jadi ciri khas laki-laki hitam manis ini. Senyum simpul selalu terukir di bibirnya. Hal inilah yang membuat dia mudah akrab dan bergaul dengan semua orang.
Namanya Fauzan Santa, 30 tahun. Dia merupakan salah seorang seniman dan budayawan yang eksis dalam bidang penulisan. Pendiri sekolah menulis Dokarim, sekaligus kepala sekolah lembaga nonformal tersebut.
Selain itu, Fauzan juga aktif dalam dunia penulisan. Ia juga sebagai sutradara film. Sejak muda bakat menulisnya ini sudah mulai dikembangkan.
Fauzan sudah mulai mengembangkan bakat penulisannya di bidang sastra sejak masih duduk bangku sekolah menengah atas. Hal tersebut dibuktikannya dengan prestasinya yang cemerlang.
Waktu itu dia sempat meraih juara lomba cipta puisi tingkat pelajar seluruh Aceh yang diadakan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Unsyiah pada tahun 1992. Judul puisinya waktu itu, “Serdadu Tua”.
Ia paling suka menulis essay dan puisi, lebih kebentuk prosa. Selain itu, resensi buku. Ia suka resensi buku, karena selain bisa dapat informsi baru, juga bisa dapat buku baru.
“Kalau essay, sifatnya lebih bebas dibanding hal lain dan lebih personal,” ungkapnya.
Selain aktif dibidang penulisan, Fauzan juga aktif dalam seni drama dan perfilman. Hal tersebut telah digelutinya sejak tahun 1995. Karyanya di bidang perfilman lebih bersifat film documenter. Di antaranya, tentang lingkungan hidup dengan judul, “Meudiwana” dan film yang menceritakan tentang tsunami dengan judul “Suwak Timah”. Kedua fil tersebut dia bertindak sebagai penulis naskah.
“Untuk saat ini, saya belum menulis buku. Karena menulis buku itu sulit daripada membuat buku,” katanya.
Keberhasilannya selama ini dalam bidang seni dan budaya tidak terlepas dari dukungan pihak keluarga. Walaupun awalnya dia harus berjuang keras untuk memberikan pemahaman kepada orang tua tentang pilihan hidupnya.
“Karena pemikiran masyarakat kita selalu miring terhadap para seniman. Melihat seni hanya dari bentuk fisik saja,” ceritanya laki-laki penyuka biru ini.
Fauzan lahir dari keluarga yang berkecupan tiga puluh tahun lalu di sebuah desa di Ganda Pura, Kabupaten Bireuen. Ia merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Ayahnya seorang pengajar di salah satu perguruan tinggi agama islam di Banda Aceh.
Bakat dan kemampuannya dalam bidang seni saat ini tidak terlepas dari pengaruh sang ayah yang suka menulis artikel dan memberikan pengajaran kepada orang lain.
“Mungkin sifat mengajar bapak tertular kapada saya. Makanya hari ini saya seperti ini, selain itu latar belakang pengetahuan saya juga sangat berperan. Kita bisa mulai menulis setelah membaca. Waktu itu saya sering membaca tulisan dan buku-buku bapak,” kenangnya.
Pengetahuannya dalam bidang seni dan budaya semakin meningkat dengan didasari latar belakang pendidikannya selama menempuh pendidikan di fakultas keguruan dan ilmu pendidikan jurusan sejarah di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga, Jogyakarta.
Karena kecintaannya terhadap seni dan budaya, pada saat penyelesaian tugas akhir kuliah di tahun 2000, ia mendapatkan beasiswa dari salah satu penerbitan di Bandung.
“Waktu itu saya mengajukan judul skripsi tentang sejarah, kebetulan saya menang,” ungkap laki-laki penyuka kebebasan ini.
Bakat seni dan kebebasan yang ada dalam dirinya tidak hanya tertuang dalam karya-karyanya, tapi juga terpancar dalam perilaku dan aktivitasnya sehari-hari. Mungkin hal ini pula yang menyebabkan sampai saat ini dia masih melajang.
Untuk memperkaya pengetahuannya tentang seni, dia sering membaca dan mengoleksi buku-buku tentang filsafat dan budaya. Hal itu juga disebabkan karena latarbelakang pendidikannya.
Sekolah Menulis Dokarim
Sebagai seorang seniman, Fauzan menanamkan sebuah keyakinan dalam dirinya, dengan seni segala sesuatu dalam hidup ini bisa menjadi indah.
“Seniman bisa melihat hidup dari persepektif yang indah dibanding dengan orang lain,” ungkapnya.
Keyakinan ini pula yang ingin dia tanamkan dalam diri generasi muda Aceh. Tahun 2003, pada awal Darurat Militer di Aceh, ia bersama beberapa teman sejawatnya mendirikan sekolah menulis, yang bertujuan mendidik anak-anak Aceh untuk mengekspresikan diri dengan tulisan. Sekolah ini diberi nama ‘Dokarim’.
Di dalamnya terhimpun para pekerja kebudayaan yang tergabung dalam jaringan Liga Kebudayaan Komunitas Tikar Pandan, Banda Aceh. Sekolah menulis Dokarim merupakan rumah latihan berbentuk sekolah (sekolah dalam pengertian sejati : waktu luang) dengan konsep pendidikan alternatif dan kurikulum pendidikan kritis.
Sekolah menulis ini tak hanya mengajarkan teknik menulis kreatif, melainkan juga pengetahuan umum lainnya. Seperti, analisis sosial, filsafat umum, sejarah kritis, metodelogi riset yang anti etnografi dan studi kebudayaan.
Metode belajar berdasarkan dialog antar peserta dengan peserta dan peserta dengan fasilitator. Program utama sekolah ini adalah memberikan beasiswa penulisan untuk pelajar dan mahasiswa, pendirian sekolah menulis di empat wilayah di Aceh dan residensi di aceh untuk penulisan luar Aceh.
“Di sini, mereka mendapatkan pendidikan secara gratis. Malah kita yang membayar mereka,” ungkap Fauzan.
Nama Dokarim sendiri diambil dari nama seorang tokoh hikayat Aceh yang tidak begitu dikenal orang banyak. Bahkan dalam sejarah Aceh sendiri, tidak banyak nama ini disebut.
Dokarim berasal dari kampong Keutapang Dua atau Lam Teungoh, Peukan Bada Geulumpang Dua di Wilayah VI, Sagoe XXV Mukim. Tak diketahui persis riwayat hidupnya. Dari kisah-kisah dalam hikayat diperkirakan dia lahir sebelum perang Aceh meletus pada 26 Maret 1873. Meninggal sebelum Sulthan ‘Alaidin Muhammad Daud Syah ditawan Belanda, pada 1903.
Ia seorang penyair, reporter perang, pewarta cerita-cerita sederhana tentang manusia dalam kemelut perang di Aceh melawan agresi kolonial Belanda. Mengandalkan ingatan yang brilian, ia selalu merekam dan menambah bait-bait sajak baru sesuai dengan berita baru dari medan laga yang disampaikan oleh saksi mata. Ia suka menambah episode baru karena merasa belum selesai benar dalam perkembangan situasi mutakhir.
Saat ini ‘Dokarim’ sudah berjalan lima angkatan. Untuk bisa masuk dan belajar di ‘Dokarim’, setiap siswa harus melewati audisi melalui seleksi tulisan yang dilakukan pihak sekolah. Selain kelas mahasiswa, ‘Dokarim’ juga membuka kelas khusus untuk para siswa. Karena angan-angan pertama pendirian sekolah ini adalah menciptakan lembaga school an schooling (sekolah tapi tidak sekolah).
Anak didik sekolah Doakrim sudah menghasilkan beberapa buku, di antaranya buku anti tokoh.
“Kita di sini memberikan ruang kepada anak didik untuk bermain dengan gagasan dan ide-ide meraka,” kata Fauzan.
Metode belajar sekolah ini pun setiap tahunnya selalu berubah dari angkatan ke angkatan. Pihak pengelola selalu melihat perkembangan dan kelemahan sistem yang sudah diterapkan.
Siswa yang masuk setiap angkatannya memiliki pemikiran dan cara pandang berbeda-beda. “Maka kita tidak mungkin menerapkan sistem yang sama pada tiap angkatannya” ujarnya.
Bagi setiap siswa dokarim yang akan menamatkan pendidikannya akan diberikan tugas akhir layaknya skripsi yang diterapkan di perguruan tinggi. Namun hal tersebut hanya sebatas formal semata, hal paling penting adalah catatan harian setiap siswa. Mereka diwajibkan untuk menuliskan semua hal yang dialaminya sehari-hari. Mulai hal terkecil sampai terbesar sekalipun.
Buku harian merupakan media komunikasi siswa dengan diri mereka. Ini yang sangat kita harapkan. Mereka tidak perlu menulis tentang orang lain, tapi bisa memulainya dari diri mereka sendiri.
Saat ini, selain disibukkan dengan sekolah ‘Dokarim’ dan pembuatan film, Fauzan juga tengah mempersiapkan buku tentang kurikulum ‘Dokarim’, dengan judul kitab ‘Dokarim’. Buku tersebut nantinya diharapkan bisa menjadi pedoman proses pembelajaran di ‘Dokarim’ dan bisa dinikmati masyarakat luas.
“Hari ini kekurangan pendidikan kita di Aceh, dari segi tenaga pengajar. Mereka belum bisa membuka pikiran anak didik untuk berpikir secara bebas dan kritis,” kata Fauzan mengkritik sistem pendidikan di Aceh.[]
0 comments:
Post a Comment
Berikan komentar anda yang membangun....