Sampai saat ini Lamteuba masih jauh tertinggal dari daerah lain di Aceh. Padahal daerah ini memiliki kekayaan alam melimpah yang belum digarap.
Keinginan untuk mewujudkan pertanian alternatif bagi masyarakat Lamteuba, hanya sebatas program semata. Tidak ada hasil yang bisa dirasakan masyarakat. Bahkan, Yayasan Thailand, Mae Fah Luang Foundation yang menjalankan programnya di Lamteuba, juga angkat kaki ke Maheng tanpa pamit kepada masyarakat setempat.
Lamteuba merupakan kemukiman yang tergabung delapan desa di dalamnya. Gampong Ateuk, Lam Apeng, Blang Tingkeum, Lambada, Lampante, Meurah, Lamteuba Droe dan Pulo. Masyarakat di daerah ini, sebagian besar berprofesi sebagai petani. Pada masa konflik melanda Aceh, Lamteuba termasuk daerah hitam, karena sering kali dijadikan basis Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sebagai tempat persembunyian.
Daerah ini tergolong subur. Letaknya tidak jauh dari kaki gunung Seulawah Agam, sekitar 500 meter dari permukaan laut. Bisa ditempuh dalam dua rute perjalanan. Dari rute atas, jarak tempuh mencapai 62 Km rute (Pasar Aceh- Seulimum 42 Km dan Seulimum-Lamteuba 40 Km). Sementara rute bawah memiliki jarak tempuh lebih kurang 48 Km (Simpang Mesra Banda Aceh-Pelabuhan Malahayati 32 Km dan Pelabuhan Malahayati-Lamteuba 16 Km). kalau dilihat dari letaknya, Lamteuba masih berada dalam wilayah yang berdekatan dengan ibu kota provinsi.
Namun, sampai saat ini keinginan pemerintah untuk mengembangkan daerah ini belum juga terwujud. Kondisi jalan yang rusak parah dan tidak adanya transportasi umum, membuat aktifitas perekonomian masyarakat Lamteuba tidak berjalan. Bahkan, untuk mendapatkan kebutuhan sehari-hari saja, masyarakat harus pergi ke Banda Aceh.
Masyarakat Lamteuba, kecamatan Seulimum Aceh Besar, harus menerima kenyataan kalau daerah mereka tidak mendapat perhatian pemerintah. Sampai saat ini, daerah tersebut masih berada jauh dari segi pembangunan. Keadaan ini semakin diperparah dengan tidak tersedianya lapangan kerja tetap bagi masyarakat setempat untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Padahal beberapa waktu lalu, pemerintah Aceh telah mencanangkan pertanian alternatif di Lamteuba melalui kerjasama dengan Yayasan Thailand Mae Fah Luang Foundation (MFLF), suatu yayasan yang bernaung di bawah Kerajaan Thailand. Lembaga ini ingin melakukan pertanian alternatif di Lamteuba. Tiga hal paling menonjol dari program MFLF, yaitu ekonomi, kesehatan, dan pendidikan. Program ini bisa meningkatkan gerakan-gerakan ekonomi yang bersumber dari agrobisnis. MFLF memulai aksinya dengan pemberantasan malaria dan penanaman beberapa jenis palawija, sebagai pilot project pertanian alternatif.
Untuk mendukung pelaksanaan program ini, warga menyerahkan semua lahan mereka untuk proyek pertanian. Tercatat 5000 hektar tanah warga siap dijadikan lahan pertanian buah. Sebanyak 800 hektar lainnya untuk persawahan. Program itu melibatkan sekitar 4000 jiwa warga setempat. Untuk menjalankan misi itu, MFL mendatangkan belasan tenaga kerja khusus dari Thailand. Di antaranya beberapa tenaga ahli pertanian dan peternakan yang dulu terlibat kerja untuk program di Chiang Rai.
Namun program ini tidak berjalan maksimal, bahkan MFLF telah meninggalkan Lamteuba tanpa alasan jelas. Dengan memilih menjalankan program di Maheng bersama Sambinoe.
Minggatnya MFLF dari Lamteuba, membuat masyarakat semakin yakin, bahwa keberadaan mereka di sana tidak sepenuhnya ingin membantu masyarakat. Apalagi, kepergian MFLF secara diam-diam tanpa sepengetahuan masyarakat setempat. Hal ini membuat masyarakat semakin kecewa MFLF.
“Seharusnya, kalau memang mereka ingin keluar dari Lamteuba, apasalahnya diberitahukan secara baik-baik kepada masyarakat. Waktu mereka masuk kemari, kami semua dikumpulkan, tapi waktu mereka keluar, tidak ada pemberitahuan apa-apa. Begini caranya bertamu, padahal mereka berasal dari Negara yang dikenal memiliki nilai sosial tinggi,” ungkap Muhammad Nasir, seorang pemuda Lamteuba.
Namun, program yang dijalankan MFLF di Lamteuba, dianggap sama sekali tidak menguntungkan masyarakat setempat. Karena masyarakat tidak menikmati hasil apa-apa dari program tersebut. Setelah beberapa bulan MFLF menjalankan program di Lamteuba, tidak ada perubahan apa-apa yang bisa dinikmati masyarakat setempat. Ladang gambut dan tanah kosong masih terbentang luas di sana. Tidak ada lahan pertanian buah, tidak ada pembibitan tanaman di sana, yang ada hanya debu dan asap yang mengepul dari mobil pengangkut kayu yang melintas jalan daerah itu.
“MFLF tidak mengerti keinginan masyarakat Lamteuba. Program yang dijalankan di sini sama sekali tidak merakyat. Kami di sini disuruh tanam terong Thailand, padahal mereka tau kalau terong tidak ada harga jual di Aceh. Selain itu, belum tentu semua masyarakat bisa makan terong. Kalau misalnya, kami tidak punya beras untuk dimasak, apa kami harus makan terong,” ujar Nasir kesal.
“Mereka bukan membantu masyarakat, tapi memanfaatkan masyarakat untuk keuntungan pribadi. Ada masyarakat yang menanam cabe dan tomat, mereka foto dan mengatakan bahwa itu kerja mereka. Padahal itu murni usaha masyarakat tanpa ada bantuan mereka sedikit pun. Ini yang membuat masyarakat tidak suka dengan mereka. Selama mereka di sini, kami tidak mendapatkan apa-apa, malah rugi yang ada. Bahkan kerbau kami, setelah disuntik oleh tim dokter mereka sampai saat ini tidak beranak lagi,” sambung Nasir.
Tidak berjalannya program tersebut disebabkan karena tidak adanya kesamaan pemahaman antara masyarakat dengan MFLF. Masyarakat merasa tidak dilibatkan dalam setiap kegitan dan pengambilan keputusan yang dilakukan MFLF.
“Sebenarnya, yang dibutuhkan masyarakat Lamteuba adalah lapangan kerja. Dengan adanya lapangan kerja, ekonomi masyarakat juga akan tumbuh. Tapi dari program MFLF ini, masyarakat tidak mendapatkan hal tersebut,” ungkap Muhammad Hasyim, Mukim Lamteuba.
Hasyim membenarkan kepergian MFLF dari Lamteuba tanpa sepengetahuan masyarakat. Bahkan, yang menyedihkan lagi, siang hari sebelum keberangkatan MFLF, mereka memerintahkan kepala desa di daerah tersebut agar mendata jumlah ternak masyarakat untuk dikebiri dan penyuntikan.
“Tapi malam harinya, mereka datang ke saya menyerahkan kunci kantor. Katanya mereka mau ke Maheng. Saya juga tidak bisa berbuat apa-apa, karena mereka sudah siap untuk berangkat, mereka bilang akan kembali lagi ke sini. Yang jadi permasalahan sekarang, kepala desanya harus menerima gunjingan masyarakat, karena sudah terlanjur mendata ternak masyarakat,” ujarnya.
Tersiar kabar, keluarnya MFLF dari Lamteuba kerena dijemput Yayasan Sambinoe yang diketuai Darwati A.Gani, isteri gubernur Aceh Irwandi Yusuf. Dugaan ini dikuatkan, karena MFLF keluar dari Lamteuba setelah Sambinoe masuk untuk melakukan pemberdayaan kedelai di salah satu kampung di Lamteuba.
“MFLF dijemput Sambinoe dengan alasan, perjalanan ke Lamteuba susah dilalui kerena jalan dan jembatannya rusak parah. Saya rasa ini tidak masuk akal, kalau memang alasannya jalan rusak, kenapa tidak diperbaiki dan dilakukan pembangunan. Kenapa MFLF yang ingin memberdayakan masyarakat Lamteuba yang dibawa kabur,” kata Zulfahmi, tokoh masyarakat Lamteuba.
Zulfahmi beranggapan, MFLF telah melenceng dari misi awal mereka ke Aceh untuk menghancurkan ladang ganja di Lamteuab dan menggantinya dengan lahan pertanian canggih. Tapi MFLF telah keluar dari Lamteuba, sedangkan mereka belum melakukan apa-apa. Kini Maheng jadi sasaran empuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Masyarakat yang tinggal di sekeliling area pengerjaan pertanian, juga mendapat subsidi.
“Di Negara lain, World Bank datang dengan memberikan bantuan kepada masyarakat. Tapi di Aceh, mereka malah mencari uang dengan menjual data ke Badan Reintegrasi Aceh (BRA). Sebagaimana kita ketahui, BRA sumber dana mereka dari APBA, dengan kata lain data World Bank dibayar dengan APBA,” cetus Zulfahmi.
Keluarnya MFLF dari Lamteuba didasari karena ajakan kerjasama Sambinoe. “Waktu itu, MFLF masih bertugas di Lamteuba, lalu Sambinoe mengajak kerjasama untuk melaksanakan program di Maheng. Atas dasar ajakan itu, MFLF mengirim beberapa orang ke Maheng. Tapi mereka masih di Lamteuba waktu itu. Setelah itu, akhirnya MFLF keluar dari Lamteuba pindah ke Maheng. Tapi MFLF sampai saat ini masih ada program pemberantasan malaria di Lamteuba, yang ditangani dr. Natalia,” ungkap Misdawan, Ketua Harian Yayasan Sambinoe.
Misdawan mengaku, pihaknya juga telah membangun taman kanak-kanak (TK) di Lamteuba pada tahun 2007. Namun hal tersebut dibantah masyarakat Lamteuba, bahwa TK tersebut sudah ada sebelum kedua yayasan tersebut masuk ke Lamteuba.
“TK di kampung ini sudah duluan ada sebelum MFLF dan Sambinoe masuk kemari. Kalau memang mereka mengaku telah melakukan pembangunan, itu hanya sekedar laporan saja untuk mendapatkan dana dengan mengatasnamakan Lamteuba. Mereka di sini pun dengan memanfaatkan fasilitas yang telah ada di kampung ini, tidak ada pembangunan, mereka cuma mengecat saja,” kata M. Nasir.
Menurutnya, Sambinoe masuk ke Lamteuba hanya melakukan pembinaan pertanian kedelai. Dari 20 orang yang dibina, hanya satu yang berhasil. “Itu pun hanya kembali modal, 19 orang lagi memang tidak mendapatkan apa-apa,” ujarnya.
Keinginan masyarakat Lamteuba untuk menikmati pembangunan secara menyeluruh dan lebih baik seperti daerah lainnya di Aceh masih jauh dari harapan. Jangankan pembangunan yang besar, di daerah ini pasar tradisional saja tidak ada. Jadi wajar, kalau masyarakatnya kemudian mengambil jalan pintas dengan berburu hewan dan menebang kayu di hutan, bahkan menanam ganja sebagai aktivitas untuk memenuhi kebutuhan hidup.[]
0 comments:
Post a Comment
Berikan komentar anda yang membangun....